Jakarta, wapresri.go.id – Sebagai lembaga pendidikan berbasis organisasi massa Islam, Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (UNUSA) harus terus memegang teguh dan menerapkan paradigma NU yaitu Almuhadhah alalqodinusholih wal akhdzu biljadidil asylah, yang artinya “memelihara yang lama yang masih baik dan mengambil yang baru yang lebih baik”.

Demikian pesan Wakil Presiden (Wapres) K. H. Maruf Amin berpesan pada acara Dies Natalis UNUSA melalui video conference dari kediaman resmi Wapres, Jalan Diponegoro Nomor 2, Jakarta Pusat, Selasa (21/07/2020).

Lebih lanjut Wapres menjelaskan bahwa memelihara yang lama yang baik artinya menjaga warisan yang dimiliki, baik menyangkut akidah yaitu akidah ahlusunnah wal jamaah, cara berfikir ala NU (fikrah nahdliyah) yaitu cara berfikir moderat, dinamis, dan bermanhaj dan juga amaliyah nahdliyah. Adapun mengambil yang baru yang lebih baik artinya melakukan transformasi terutama yang menyangkut Ilmu pengetahuan dan teknologi yang pada saat ini menjadi penentu kemajuan dan daya saing.

“Kemajuan Iptek ditengah arus globalisasi yang cepat saat ini adalah suatu keniscayaan yang tidak mungkin dihindari,” tegasnya.

Karena kemajuan Iptek, lanjut Wapres, selain memberikan berbagai manfaat yang telah dirasakan, kemajuan Iptek juga membawa dampak disruptif atau perubahan cepat yang mendasar yang telah dan akan mengubah cara kita beraktifitas, berbisnis, berproduksi, bertransaksi dan berinteraksi.

”Oleh karena Itu, disamping kita harus mengejar kemajuan Iptek, namun kita harus tetap menjaga agar nilai-nilai lama yang masih baik tidak terdisrupsi,” pesan Wapres.

Dalam acara yang bertajuk “Berlari Menuju Universitas Terkemuka dan Unggul” tersebut, Wapres mengajak untuk melakukan inovasi-inovasi sesuai dengan platform NU yang dinyatakan sebagai organisasi perubahan.

“Sejatinya NU adalah merupakan gerakan ulama untuk melakukan perbaikan dan perubahan bagi umat (harakatul ulama fii islahil ummah). oleh karena Itu, saya menambahkan satu paradigma lagi yaitu al Islah Ila ma huwal aslah tsummal aslah fal aslah. Artinya melakukan perbaikan ke arah yang lebih baik secara berkelanjutan, secara sustainable [berkelanjutan],” terangnya.

“Atas dasar paradigma tersebut semestinya kita tidak berhenti setelah melakukan transformasi, tapi kita harus terus menerus melakukan Inovasi supaya kita tidak hanya menjadi konsumen dari kemajuan bangsa lain,” pungkas Wapres. 

Sumber & Foto: (RN, KIP-Setwapres)

[RID/fiq]

Raja Sulaiman bernyanyi kepada yang paling perempuan dari para perempuannya. ia bernyanyi kepada tubuhnya dan kepada pintu masuk ke dalam tubuhnya dan kepada gairah peraduan berdua.


Kidung segala Kidung sama sekali tidak seperti kitab2 Injil Yerusalem lainnya. kenapa begitu?.


Menurut para rabbi, ia adalah alegori cinta Tuhan kepada Israel. menurut para pastur ia adalah sembah bakti gembira atas perkawinan Kristus dengan Gereja. tetapi pada hal tak satu baitpun darinya menyebut Tuhan, apalagi Kristus atau Gereja, yang baru ada lama setelah Kidung dinyanyikan.


Yang lebih mungkin nampaknya, kebersamaan raja Yahudi dan perempuan kulit hitam itu adalah sebuah perayaan gairah nafsu dan keragaman warna kulit kita.


“Ciummu di bibirku lebih menggairahkan dari anggur," nyanyi sang perempuan. 


Dan dalam versi yang sampai sekarang kita kenal, ia juga bernyanyi:"saya hitam, tetapi indah." 


Dan ia memberi penjelasan, kulitnya hitam karena ia bekerja di alam terbuka, di kebun anggur.


Namun versi lain menekankan bahwa "tetapi" itu sisipan. sesungguhnya ia bernyanyi:"saya hitam, dan indah."


Sumber Buku: Mirrors

Penulis: Eduardo Galeano

Penerjemah: wardah hafidz

[RID/fiq]

Merajuk malam mengais bulan purnama bergelayutan pada awan kelam

Sinarannya terbesit tipis tak bisa terlihat terang

Bintang pun jatuh dalam bidak jaman

Hanya angin dingin menepis pipi yang tak lagi muda

Balairung menjadi saksi cinta malam kepada kumbang

Purnama terperangkap dalam balai pancapersada

Dalam bimbang menakar ruang

Memintal cinta demi cinta seperti benang pancarona

Benderang cinta menjadi hiasan di pintu masuk asmara

Siap beramuk-amuk bertarung melindungi cinta

Bestari menjadi hidup dalam cinta sejati

Nyanyian burung bulbul menambah senyapnya malam

[RID/fiq]

Nama ‘Syansuri’ cukup terkenal di Jawa, terutama di kalangan santri nahdliyyin. Salah seorang tokoh yang memiliki nama ini adalah kakek Gus Dur dari pihak ibu, yaitu Kiai Bisri Syansuri (w. 1980), seorang ulama besar yang pernah menjabat sebagai Rais Aam Nahdlatul Ulama sepeninggal Kiai Abdul Wahab Chasbullah (w. 1972).

Kiai lain yang menggunakan nama ini adalah Kiai Syansuri Badawi, salah satu murid "kinasih" Mbah Hasyim Asy'ari yang kemudian meneruskan tradisi "ngaji" Bukhari-Muslim di Pondok Tebuireng selama bertahun-tahun.

Sekedar informasi, salah satu pengajian andalan Mbah Hasyim ketika masih "sugeng" dulu adalah ngaji kitab Bukhari-Muslim, dua kitab koleksi hadis yang paling otoritatif dalam Islam. Salah satu murid Kiai Syansuri Badawi yang mungkin banyak dikenal publik adalah Kiai Ali Mustafa Yaqub, kiai asal Batang (Jawa Tengah) yang pernah menjabat sebagai imam besar Masjid Istiqlal.

Dalam tulisan pendek ini, saya mau mengulas mengenai nama ‘Syansuri’ ini. Saya juga akan membahas sedikit mengenai sosok Kiai Bisri Syansuri.  Kiai Bisri Syansuri berasa dari Tayu, Pati, Jawa Tengah. Beliau pernah belajar kepada sejumlah kiai, antara lain Kiai Abdussalam Kajen (ayahanda Kiai Abdullah Salam alias Mbah Dullah, paman dari Kiai Sahal Mahfudz).

Beliau juga pernah belajar kepada Hadratusysyaikh Hasyim Asy'ari (kakek Gus Dur dari pihak bapak). Guru-guru Kiai Bisri yang lain meliputi: Kiai Syua'ib Sarang (Rembang), Kiai Khalil Kasingan (Rembang), dan Syaikhana Khalil Bangkalan (Madura).  Bersama Kiai Abdul Wahab Chabullah (salah satu pendiri NU), Kiai Bisri pernah belajar di Makkah, dan berguru, antara lain, kepada Syekh Mahfudz Termas yang masyhur itu.

Setelah pulang ke tanah air (kira-kira pada 1913, setahun setelah Muhammadiyah berdiri), Kiai Bisri mendirikan Pondok Pesantren Denanyar, Jombang. Beliau wafat pada 1980, dan kedudukannya sebagai Rois Aam PBNU digantikan oleh Kiai Ali Ma'sum Krapyak, Yogyakarta. 

Yang menarik perhatian saya sejak dulu adalah nama "Syansuri" itu. Ini jelas bukan nama Jawa. Saya sudah menduga, ini adalah nama sebuah kota atau tempat di negeri Arab. Ada sebuah praktik yang lazim di kalangan santri Jawa, yaitu memakai nama-nama yang berasal dari nama sebuah negara atau tempat di kawasan Arab atau Persia. 

Contoh yang paling populer adalah "Syirazi". Nama ini banyak sekali dipakai oleh keluarga Muslim di Indonesia, terutama Jawa. Nama "Syirazi" sebenarnya berasal dari kata "Syiraz", yaitu nama sebuah kota di Iran bagian selatan. Dalam catatan pendek ini, saya mau menelaah kata "Syansuri" dalam nama Kiai Bisri Syansyuri itu. "Syansuri" (ada yang membacanya: Syinsyauri) adalah nama ayahanda Kiai Bisri. Sama dengan kasus "Syirazi", nama ini berasal dari kata "Syansur", sebuah daerah di kawasan provinsi Manufia di Mesir (dari daerah ini juga lahir nama seorang ulama yang amat populer di kalangan pesantren, yaitu Imam Ibrahim al-Bajuri [w. 1276 H/1859 M], pengarang Hasyiyah al-Bajuri yang terkenal dan kerap dijadikan rujukan dalam bahtsul masa'il di NU).

Yang menjadi pertanyaan adalah: Bagaimana orang-orang Muslim di Jawa dulu mengenal kata "Syansur", lalu menamai anak-anak mereka dengan nama "Syansuri" ini? Sebagian orang ada yang menggunakan nama "Samsuri", atau "Syamsuri". Keduanya adalah versi lain dari nama "Syansuri". Sangatlah mustahil mereka mengenal nama ini melalui televisi, koran, atau radio, sebab jenis-jenis teknologi itu belum dikenal luas oleh keluarga nahdliyin di pedusunan Jawa saat mereka mulai mengadopsi nama itu kira-kira pada awal abad ke-19.

Lalu dari mana mereka mengenal nama "Syansur/i"? Jawabannya adalah melalui para ulama dari kawasan Arab yang menyandang nama tersebut. Ada banyak ulama yang menggunakan nama ini, salah satunya (yang saya duga paling mungkin menjadi asal-usul populernya nama "Syansuri" di Jawa) adalah Imam Abdullah bin Muhammad bin Abdullah al-Jam'i al-Syansuri, seorang ulama yang dikenal sebagai pakar di bidang ilmu faraid (ilmu pembagian waris dalam Islam).

Selain itu, ia juga menjabat sebagai khatib resmi di masjid Universitas al-Azhar pada zamannya, dan karena itulah ia dikenal pula dengan "jejuluk" atau laqab "al-Jam'i". Ia wafat pada 999 H/1591 M.  Ulama ini dikenal di Jawa melalui syarah atau komentarnya atas sebuah risalah pendek yang amat populer di seluruh dunia Islam; nama risalah ini adalah "al-Mandzumah al-Rahabiyyah".

Ini adalah risalah pengantar kepada pembahasan ilmu faraid karya Ibn al-Mutafanninah (ada yang menyebutnya: Ibn al-Mutqinah), seorang ulama asal Syria yang hidup pada abad ke-12 (setelah generasi Imam Ghazali).  Para santri di seluruh dunia Islam yang hendak belajar ilmu faraid, hampir bisa dipastikan akan memulainya dengan "ngaji" risalah pendek ini. Kita bisa menyebut risalah ini sebagai "Jurumiyah"-nya ilmu faraid. Saya dulu "ngaji" kitab ini kepada almarhum Kiai Ahmad Rifai Nasuha dari Kajen, Pati.

Kiai Rifai dikenal di daerah saya sebagai pakar ilmu faraid yang amat handal. Beliau hafal di luar kepala "al-Mandzumah al-Rahabiyyah" (terdiri dari 170-an bait) ini, dan selalu mengajar tanpa menggunakan kitab.  Salah satu bait dalam risalah ini, dan masih saya ingat adalah sebagai berikut

: وأنَّ هٰذا العلمَ مخْصُوصٌ بما # قد شاع فيه عنْدَ كلِّ العُلما بأنه أولُ علمٍ يُفْقَدُ # فى الأرض حتَّى لا يكادُ يوجَدُ

Bait ini menegaskan bahwa faraid adalah ilmu yang pertama hilang dari peredaran, dan jarang dipelajari oleh umat Islam. Penegasan ini didasarkan pada sebuah hadis riwayat Ibn Majah (w. 273 H/886 M) yang memuat semacam prediksi Kanjeng Nabi: bahwa faraid adalah ilmu yang pertama kali "diangkat" dari muka bumi (أوَّلُ عِلْمٍ يُرْفَع).  

Nadzam al-Rahabiyyah yang diterjemahkan dalam bahasa Perancis oleh J.-D. Luciani dan terbit di Al-Jazair pada 1896, berjudul "Petit Traité des Successions Musulamnes" (Risalah pendek tentang kewarisan Muslim). (Foto: FB Ulil Abshar Abdalla) Kiai Bisri Syansuri bisa dipastikan pernah mempelajari risalah ini beserta syarahnya. Sangat mungkin bahwa beliau mempelajari kitab itu dari Syekh Mahfudz Termas di Mekah, selain dari guru-gurunya yang lain sewaktu masih "nyantri" di Jawa. 

Sementara itu, "Syansuri" adalah nama ayah Kiai Bisri yang hidup kira-kira di paruh pertama ada ke-19. Data ini, bagi saya, bisa menjadi dasar untuk menduga bahwa pada waktu itu (yakni paruh pertama abad ke19), atau malah sebelumnya, syarah atas "al-Mandzumah al-Rahabiyyah" karya Imam Abdullah bin Muhammad al-Syansuri sudah dikenal dan dipelajari oleh ulama di Jawa. Melalui syarah inilah para santri Jawa pelan-pelan mulai mengenal nama "Syansuri" dan mengadopsinya sebagai nama bagi putera-putera mereka.

Yang menarik, nama "Syansuri" tak lagi populer sekarang, dan tampaknya mulai jarang dipakai oleh keluarga nahdliyin (sepengetahuan saya; mungkin saja saya keliru). Apakah ini menandakan bahwa syarah Imam al-Syansuri atas nadzam al-Rahabiyyah tersebut sudah jarang dipelajari?.

Atau lebih jauh lagi, apakah ini juga menandakan bahwa popularitas ilmu faraid sudah mulai merosot, sekaligus meng-konfirmasi prediksi Kanjeng Nabi dalam hadis riwayat Ibn Majah itu? Atau mungkin nama ini sudah tak dianggap keren lagi? .

Wallahu a'lam.

Penulis : Ulil Abshar Abdallah, Intelektual Muda NU.

Sumber Link & Foto : https://www.nu.or.id/post/read/116395/kiai-bisri--syansuri--dari-patijombang

[RID/fiq]

Pemerintah membangun infrastruktur berupa dua pelabuhan di Bali sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas pariwisata di wilayah itu.

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi bersama Gubernur Provinsi Bali I Wayan Koster, Senin (3/8/2020), meletakkan batu pertama pembangunan pelabuhan penyeberangan yaitu Pelabuhan Sampalan di Pulau Nusa Penida serta Pelabuhan Bias Munjul di Pulau Nusa Ceningan, Kabupaten Klungkung Provinsi Bali.

Pembangunan kedua pelabuhan tersebut untuk mendukung pariwisata di Bali yang termasuk ke dalam Pelabuhan Segitiga Emas (Sanur, Nusa Penida dan Nusa Ceningan/Lembongan) dan terhubung dengan Pelabuhan Sanur yang terletak di Denpasar.

"Insya Allah kedua pelabuhan ini bisa selesai dalam waktu sembilan bulan atau pertengahan tahun 2021,” kata Menhub Budi Karya.

Budi Karya menjelaskan, pihaknya telah menggelar rapat secara intensif dengan Pemprov Bali untuk membicarakan dukungan transportasi terhadap pariwisata di Bali seperti konsep super hub tourism, maritim, dan penelitian tentang rencana akses darat menuju Bali Utara.

Presiden Joko Widodo berpesan agar Bali bisa menjadi super hub tourism tidak hanya bagi Indonesia tetapi sampai Asia Tenggara bahkan Australia,” kata  Menhub.

Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Kepala Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Wishnutama Kusubandio mengatakan, pemerintah terus meningkatkan pembangunan infrastruktur untuk mendukung sektor pariwisata yang saat ini sedang dikebut pengembangannya.

Ke depan perubahan tren baru pariwisata sesudah pandemi COVID-19 akan bermuara pada ‘quality tourism’ atau perjalanan pariwisata yang lebih berkualitas. Dengan pengembangan infrastruktur di Bali sudah tentu akan meningkatkan kualitas pariwisata di sana,” ujarnya.

Wishnutama juga menjelaskan, salah satu strategi wisata yang baik yakni tidak hanya membangun infrastruktur, membuat konsep promosi, dan membangun sumber daya, melainkan menciptakan daya tarik wisata baru bagi pariwisata Indonesia dengan menerapkan protokol kesehatan berbasis CHSE (Cleanliness, Health, Safety, and Environmental Sustainability).

Bisnis pariwisata adalah bisnis kepercayaan. Pelaku usaha pariwisata dan ekonomi kreatif Bali harus menjalankan protokol kesehatan dengan tanggung jawab sehingga mampu membangun kepercayaan dan rasa aman bagi wisatawan,” kata Wishnutama.

Gubernur Provinsi Bali I Wayan Koster menyebut dengan dibangunnya kedua pelabuhan akan memudahkan aksesibilitas menuju kawasan segitiga emas, sehingga dapat mendorong peningkatan jumlah wisatawan baik wisatawan nusantara maupun wisatawan mancanegara. Selain itu, keberadaan pelabuhan juga dapat mendukung aktivitas keagamaan masyarakat Bali.

"Ketika akan ada upacara agama rutin dimana masyarakat se-Bali itu melakukan persembahyangan yang datang dari berbagai kabupaten di Bali. Karena tidak ada pelabuhan, mereka kesusahan untuk naik ke kapal karena harus angkat-angkat kainnya sambil mengusung sesajennya dari berbagai wilayah," tutur Wayan Koster.

Rencananya, Pelabuhan Sampalan akan dibangun dua lantai dengan luas area kolam 9.000 meter persegi, kapasitas sandar 10 speedboat, dengan estimasi biaya pembangunan Rp86,7 miliar. Sedangkan Pelabuhan Bias Munjul akan dibangun menjadi dermaga bagi speed boat dan kapal Ro-ro, dengan estimasi biaya pembangunan sebesar Rp 109,6 miliar.

Jika konsep Pelabuhan Segitiga Emas ini sudah terealisasi, diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan lalu lintas di Pulau Nusa Penida serta Nusa Ceningan serta berdampak pada ekonomi warga setempat. 

Sumber & Foto: Biro Kemenparekraf

[RID/fiq]

Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia harus bisa dijadikan momentum untuk melakukan percepatan transformasi digital. Menurutnya, pandemi dapat mengubah cara kerja, cara beraktivitas, cara belajar, hingga cara bertransaksi dari sebelumnya luar jaringan (luring) atau offline dengan kontak fisik menjadi lebih banyak daring atau online.

"Perubahan seperti ini perlu segera diantisipasi, disiapkan, direncanakan secara matang," kata Presiden Joko Widodo saat memimpin rapat terbatas dengan topik "Perencanaan Transformasi Digital", di Istana Merdeka, Jakarta, Senin, 3 Agustus 2020.

Dalam survei IMD World Digital Competitiveness pada 2019, Indonesia masih berada di peringkat 56 dari 63 negara. Menurut Presiden, posisi Indonesia tersebut lebih rendah dibandingkan dengan beberapa negara tetangga di ASEAN, yaitu Thailand di peringkat 40, Malaysia di peringkat 26, dan Singapura di peringkat 2.

"Oleh sebab itu perlu menjadi perhatian kita bersama, yang pertama segera lakukan percepatan perluasan akses dan peningkatan infrastruktur digital. Saya kira kemarin kita sudah bicara dengan Menkominfo mengenai ini. Kemudian percepatan penyediaan layanan internet di 12.500 desa/kelurahan serta di titik-titik layanan publik," kata Presiden.

Kedua, Presiden meminta agar dipersiapkan peta jalan atau road map transformasi digital di sektor-sektor strategis. Beberapa sektor tersebut antara lain pemerintahan, layanan publik, bantuan sosial, pendidikan, kesehatan, perdagangan, industri, dan penyiaran.

"Jangan sampai infrastruktur digital yang sudah kita bangun justru utilitasnya sangat rendah," kata Presiden.

Ketiga, Presiden meminta agar integrasi pusat data nasional dipercepat. Keempat, Presiden ingin agar kebutuhan sumber daya manusia (SDM) talenta digital disiapkan.

Menurut Kepala Negara, untuk melakukan transformasi digital, Indonesia membutuhkan talenta digital sebanyak kurang lebih 9 juta orang untuk 15 tahun ke depan atau kurang lebih 600 ribu per tahun.

"Ini perlu betul-betul sebuah persiapan. Atau kurang lebih 600 ribu per tahun, sehingga kita bisa membangun sebuah ekosistem yang baik bagi tumbuhnya talenta-talenta digital kita," kata Presiden.

Terakhir, Presiden meminta agar jajarannya segera menyiapkan hal-hal yang berkaitan dengan regulasi, skema pendanaan, dan pembiayaan transformasi digital.

Sumber&Foto: (Humas Kemensetneg)

Adinda menunggu Kanda dalam cinta tak berujung

Teringat kata, canda bertatap kasih pelukan mesra

Bersemayam hati merambat doa

tuk jaga kemurnian temaram cinta awang-gemawang

Berdoa merapal mantra

Berduel bercampur rasa

Berjibaku hidup penuh rona

Akhir kebaikan cahaya berkat

Berjalan bergandengan menuju pintu akhirat

Inilah cintaku

Kelak akan membangunkan tidur panjangmu

Bangunlah ketika aku datang dengan waktuku

Bersigaplah roh ini mencari namamu

Akan ku berikan jiwa untuk kasihku

Berputar kayun ingat kasihmu

Bersuten menghitung asmara

Takut rindu datang dengan air mata

Kebacut mimpi cium pipimu

[RID/fiq]

Kiai Ali Mustafa Yaqub merupakan sosok ulama ternama yang meninggal dua tahun lalu. Kiprah beliau untuk umat islam, khususnya di Indonesia sangatlah besar. Dalam bidang keilmuan pun tak dapat diragukan lagi, hadis adalah nafasnya, hingga beliau dikenal dengan kedalaman ilmu haditsnya.

Pada bagian sebelumnya telah diceritakan kelahiran, masa kecil, hingga remajanya. Kali ini kita ikuti proses pendidikan, karya, sampai proses kewafatannya. Pendidikan Pesantren, dari Seblak ke Tebuireng Hampir ketujuh anak Kiai Yaqub nyantri di pesantren Tebu Ireng, Jombang.

Dari tujuh anaknya hanya dua yang tidak nyantri, Lin Maryni, anak kedua karena memang telah wafat pada umur tujuh tahun, dan Sri Mukti yang mengenyam pendidikan hanya sampai SD saja. Pendidikan Kiai Ali Mustafa meliputi Pesantren Seblak, Tebuireng, IKAHA, S1 dan S2 di Saudi Arabia, S3 di Universitas Nizamia Hyderabad India. Pesantren Salafiyah Syafiiyah Seblak adalah tempat awal beliau nyantri, meski ketika SMP beliau pernah nyantri juga, ibaratkan ketika itu hanya santri kalong. 

Pesantren Seblak terletak di dusun Seblak, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang. Perlu diketahui pula bahwa pesantren ini adalah perkembangan dari Pesantren Tebuireng. Sebab beliau memilih Seblak karena kakanya, Ali Jufri, waktu itu masih nyantri sekaligus kuliah di IKAHA (Insitut Keislaman Hasyim Asy’ari), tepatnya pada tahun 1966. Pasca selesainya Ali Jufri kuliah di IKAHA, Ali Mustafa benar-benar harus hidup mandiri di pondok.

Selama di Seblak, Ali Mustafa muda banyak belajar dari Kiai Muhsin Jalaluddin Zuhdi, wakil pengasuh pesantren Seblak. Petuah kiai Muhsin yang sangat terpatri dalam diri Ali Mustafa muda adalah, “Jadilah kamu orang yang dibutuhkan oleh orang lain, jangan jadi orang yang membutuhkan orang lain.

” Dengan pesan ini beliau berusaha menjadi seseorang yang bermanfaat bagi orang lain dan tidak merepotkan orang lain". Banyak hal yang diperoleh Ali Mustafa muda saat nyantri di Seblak, di antaranya adalah ilmu alat, fikih, hadis, dan ilmu lainnya. Kenangan ini banyak ia ceritakan pada santrinya. Setelah selesai di Seblak, Ali Mustafa tak langsung pulang, namun melanjutkan nyantri ke pesantren Tebuireng, Jombang.

Di sana beliau menempuh Madrasah Aliyah Syafiiyah Tebuireng selama tiga tahun, mulai dari tahun 1969 hingga 1972.  Tidak hanya mondok, beliau pun melanjutkan pendidikannya di Fakultas Syariah IKAHA Tebuireng mulai dari dari 1972-1975. Selain kuliah, beliau pun menekuni kitab-kitab kuning di bawah bimbingan kiai sepuh.

Selama di Tebuireng ini Ali Mustafa banyak bertemu dengan kiai-kiai hebat dan kharismatik, serta belajar pada mereka. Di antara ulama-ulama hebat ini adalah, Kiai Idris Kamali, Kiai Adhlan Ali, Kiai Shobari, Kiai Sansuri Badawi, dan Kiai Syuhada Syarif. Dan di antara mereka yang paling berpengaruh dalam proses belajarnya adalah Kiai Idris Kamali. Ali Mustafa sering menyebut dirinya dengan 'Tukang Pijit Kiai Idris'.

Tatkala beliau ingin berguru pada Kiai Idris, Kiai Idris bertanya kepada Ali Mustafa, “Siro mau apa? (Kamu mau apa?); Namamu siapa? Hafalkan sepuluh kitab, ya.” Seketika Ali Mustafa terdiam membisu mendengar perintah ini, namun tetap ia jalankan. Sepuluh kitab itu adalah Matan al-Jurumiyah, Matan al-Kailany, Nadzom al-Maqsud, Nadzom al-Imrithy, al-Amtsilah Tasrifiyyah, Alfiyah, al-Baiquniyyah, dan al-Waraqat.

Setelah lulus, Ali Mustafa diminta untuk mengabdi mengajar Bahasa Arab untuk santri tingkat Sekolah Persiapan (SP) Tsanawiyah ketika itu. Beliau sangat andal dalam mengatur waktunya, tak ada kata nganggur, setiap waktu selalu digunakan dengan hal yang bermanfaat.

Meluncur Nyantri S1 dan S2 di Arab Saudi, dan Menyandang Gelar Doktor Di usianya 24 tahun, Ali Mustafa mendapat panggilan untuk melanjutkan studinya di Fakultas Syariah, Universitas Islam Muhammad bin Saudh, Saudi Arabia. Beliau memperoleh pendidikan ini setelah melalui jalur murosalah (korespondensi) atau pengajuan lamaran jarak jauh via pos.

Ali Mustafa menyelesaikan S1 dengan ijazah Licence pada tahun 1980. Selepas pendidikan S1, beliau tak langsung pulang ke tanah air. Jiwa haus akan ilmunya masih menggebu-gebu. Kiai Ali masih ingin melanjutkan studinya di Arab Saudi.

Akhirnya beliau melanjutkan studinya di S2 Universitas King Saud, Departemen Studi Islam jurusan Tafsir Hadis, sampai lulus dengan mendapat ijazah Master pada tahun 1985. Ketika pascasarjana inilah beliau bertemu dengan salah satu guru besarnya, Syaikh Mustafa Azami. Syaikh Mustafa Azami adalah ulama hadis kontemporer ternama di kancah internasional, lahir di India pada tahun 1932.

Tahun 1985, Kiai Ali Mustafa pulang ke Indonesia dan mengakhiri studinya, namun jiwa menuntut ilmunya belum surut juga, akhirnya berkat saran gurunya, Syaikh Hasan Hitou, beliau pun melanjutkan studi doktoralnya di Universitas Nizamia, Hyderabad, India, pada tahun 2005. Studi ini tidak bersifat resindensial atau belajar di kampus, namun melalui komunikasi jarak jauh. Studi ini rampung setelah beliau menulis disertasinya yang berjudul Ma’âyir al-Halâl wa al-Harâm fî Ath’imah wal Asyribah wal Adawiyah wal Mustahdharat at-Tajmiliyyah ‘ala Dhau’ al-Kitâb wa al-Sunnah (Kriteria Halal-Haram untuk Pangan, Obat dan Kosmetika Menurut al-Quran dan Hadis). Disertasi ini diujikan di Indonesia.

Karena kesibukan Kiai Ali adalah Imam Besar Masjid Istiqlal, maka disertasi pun diujikan di Masjid Istiqlal, Jakarta. Disertasi sidang dipimpin langsung oleh Prof. Dr. Muhammad Hasan Hitou, ilmuan Suriah, sekaligus Guru Besar Fikih dan Ilmu Ushul Fikih dari Universitas Kuwait dan Direktur ilmu-ilmu keislaman Frankfurt Jerman.  Sedangkan dewan penguji terdiri dari Prof Dr Taufiq Ramadhan al-Buuthi, Guru Besar dan Ketua Jurusan Fikih dan Ushul Fikih Universitas Damaskus Suriah; Prof Dr Mohammed Khaja Syarief M. Shihabuddin, Guru Besar dan Ketua Jurusan Hadis Universitas Nizamia, Hyderabad India; Prof. Dr. M. Saifullah Mohammed Afsafullah, Guru Besar dan Ketua Jurusan Sastra Arab Universitas Nizamia Hyderabad India.

Gelar doktor tak menyurutkan dahaga beliau dalam menuntut ilmu, maka beliau memiliki semboyan hidup “Nahnu Thullabul’Ilmi Ila Yaumil Qiyamah” (Kami adalah penuntut ilmu hingga hari kiamat). Khidmah dengan Berdakwah  Kiai Ali Mustafa sangat telaten dalam berdakwah, mengkhidmahkan diri untuk umat. Bahkan ketika masih di Saudi Arabia, beliau pernah berkeinginan untuk berdakwah di tanah Papua jika sudah pulang nanti, meskipun impian ini tidak terealisasikan karena beberapa sebab.

Pemikiran kiai Ali Mustafa Kiai Ali sangat diterima hampir di setiap kalangan. Kita dapat membaca dari pendidikan beliau sejak kecil, dengan corak ke-NUanya yang begitu kental. Meskipun beliau mengenyam sembilan tahun di Arab Saudi, beliau tidak pernah terpengaruh sama sekali dengan pemikiran Salafi-Wahabi.

Hal ini diungkapkan oleh Prof. KH. Ali Yafie, “Meskipun tercatat sebagai salah seorang alumnus Timur Tengah, yang sering diklaim jumud (keras), statis, dan cenderung agak keras dalam menyikapi berbagai fenomena keagamaan, tak menjadikan beliau (Ali Mustafa) bersikap keras.” Ulama yang produktif dilihat dari beberapa buku yang beliau tulis, dapat dihitung bahwa Kiai Ali Mustafa termasuk ulama yang produktif.

Beliau memiliki motivasi untuk selalu berkarya. Santrinya sangat beliau anjurkan untuk menulis, maka tak salah wejangan beliau sangat akrab sekali di telinga para santrinya, yaitu “Wa laa tamutunna illa wa antum muslimun” (Janganlah kalian mati kecuali menjadi penulis). Hingga akhir hayatnya Kiai Ali telah menulis 49 buku, namun ada juga buku terakhir yang terbit pascawafatnya beliau, hasil transkip dari ceramah-ceramahnya, jadilah jumlah buku itu berjumlah 50 buku.

Berikut judul-judul buku yang ditulis Kiai Ali Mustafa: Memahami Hakikat Hukum Islam (Alih bahasa dari Prof. Dr. Muhammad Abdul Fattah al-Bayanuni, 1986) Nasihat Nabi Kepada Pembaca dan Penghafal Quran (1990) Imam al-Bukhari dan Metodologi Kritik dalam Ilmu Hadits (1991) Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya (Alih bahasa dari Prof. Dr. Muhammad Mustafa Azami, 1994) Kritik Hadis (1995) Bimbingan Islam Untuk Pribadi dan Masyarakat (Alih Bahasa dari Muhammad Jamil Zainu, terbit di Saudi Arabia, 1418 H) Sejarah dan Metode Dakwah Nabi (1997) Peran Ilmu Hadis dalam Pembinaan Hukum Islam (1999) Kerukunan Umat dalam Perspektif al-Quran dan Hadis (2000) Islam Masa Kini (2001) Kemusyrikan Menurut Madzhab Syafi’i (Alih Bahasa dari Prof. Dr. Abd. Al-Rahman al-Khumays, 2001) Aqidah Imam Empat Abu Hanifah, Malik, Syafi’I, dan Ahmad (Alih Bahasa dari Prof. Dr. Abd. Al-Rahman al-Khumays, 2001) Fatwa-fatwa Kontemporer (2002) MM Azami Pembela Eksitensi Hadis (Karya Bersama KH. Abdurrahman Wahid (Gius Dur), dkk, 2002) Pengajian Ramadhan Kiai Duladi (2003) Hadis-hadis Bermasalah (2003) Hadis-hadis Palsu Seputar Ramadha (2003) Nikah Beda Agama Dalam Perspektif Alquran dan Hadis (2005) Imam Perempuan (2006) Haji Pengabdi Setan (2006) Fatwa Imam Besar Masjid Istiqlal (2007) Pantun Syariah ‘Ada Bawal Kok Pilih Tiram’ (2008) Toleransi Antar Umat Beragama (Bahasa Arab dan Indonesia, 2008) Kriteria Halal dan Haram untuk Pangan, Obat, Kosmetika dalam Perspektif al-Quran dan Hadis (2009) Mewaspadai Provokator Haji (2009) Islam di Amerika (2009) Islam Between War and Peace (Bahasa Inggris, Arab, dan Indonesia, 2009) Kidung Bilik Pesantren (2009) Ma’âyir al-Halâl wa al-Harâm fî Ath’imah wal Asyribah wal Adawiyah wal Mustahdharat at-Tajmiliyyah ‘ala Dhau’ al-Kitâb wa as-Sunnah (2010) Kiblat, antara Bangunan dan Arah Kabah (Dalam Bahasa Arab dan Indonesia, 2010).

Masih ada 20 buku lagi yang tak dapat kami cantumkan di sini.

Kewafatan, Kamis, 24 April 2016 menjadi hari yang mengundang kesedihan, perginya salah satu ulama Nusantara yang banyak bergulat di bidang hadis. Kewafatan beliau seperti tak ada tanda-tanda sebelumnya. Sebagaimana diceritakan oleh salah seorang pengurus masjid Agung Sunda Kelapa, bahwa pada malam Jumat, 28 April 2016 Kiai Ali Mustafa akan mengisi jadwal kajian rutin Arbain Nawawi di Masjid Sunda Kelapa.

Rabu sore, sehari sebelum kewafatannya pun beliau masih sempat menerima telepon untuk mengkonfirmasi apakah bisa mengisi kajian tersebut atau tidak. Beliau menjawab dengan suara lemah diselingi batuk, jika badan sehat maka bisa, namun kalau batuk belum juga reda, maka terpaksa diliburkan.

Jika melihat pada tahun sebelum tahun kewafatan Kiai Ali Mustafa, beliau pernah berbicara ketika di atas panggung saat berlangsungnya haflah takhorruj (wisuda) Darus-Sunnah ke-13, tepatnya tanggal 6 Juni 2015. “Rasulullah wafat umur 63 Tahun, kami sudah umur 64 tahun,” ungkap Kiai Ali. “Artinya apa?” lanjut beliau,  “Rasulullah pada akhir hayatnya sering mengatakan begini: يَاأَيُّهَا النَّاسُ أُوْصِيْكُمْ لَعَلِّي لا أَلْقَاكُمْ بَعْدَ عَامِكُمْ هَذَا “Saya pesan pada kalian, siapa tahu tahun depan saya nggak bertemu lagi dengan kalian.” “Maka dengan anak-anak kami, selalu kami sampaikan: أُوْصِيْكُم يا أَبْنائِي الطَّلَبَةُ لَعَلِّي لا أَلْقَاكُمْ بَعْدَ عَامِكُمْ هَذَا “Saya pesan, wahai murid-muridku, siapa tahu tahun depan saya nggak bertemu lagi dengan kalian.” Begitulah kiranya kata-kata yang mengarah pada firasat kewafatan beliau, tentunya kalimat terakhir inilah yang sangat membekas dalam benak santrinya. 

Beliau dimakamkan di belakang area masjid Muniroh Salamah, di dalam kawasan pesantren. Semoga Kiai Ali Mustafa Yaqub diterima seluruh amalnya dan diampuni segala dosa-dosanya. Amiin. Disarikan dari buku: Biografi Kyai Ali Mustafa Yaqub, Meniti Dakwah di Jalan Sunnah (Ulin Nuha Mahfudhon, Maktabah Darus-Sunnah, Cetakan pertama, April 2018).

Penulis : Amien Nurhakim, Mahasantri di Darus-Sunnah International Institute for Hadith Science, Ciputat; mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; pengisi kolom keislaman di Islami.co dan NU Online.

Sumber: https://www.nu.or.id/post/read/88427/mengenal-lebih-dekat-kiai-ali-mustafa-yaqub

[RID/fiq]

Ketika G-Land justru masih terdengar asing bagi sebagian besar wisatawan nusantara, berbeda halnya dengan wisatawan mancanegara. G-Land atau yang biasa disebut Pantai Plengkung adalah salah satu destinasi favorit turis asing saat berkunjung ke Banyuwangi, Jawa Timur (Jatim).

Pantai yang terletak di Kawasan Taman Nasional Alas Purwo itu dianggap sebagai salah satu surga yang tersembunyi bagi para peselancar dunia. Maka selancar pun menjadi daya tarik utama bagi pantai itu,

Selain itu, G-Land pun menyuguhkan keindahan alam yang kaya dengan hamparan laut biru yang luas dan ombak yang memanjang, tinggi, dan besar. Hal itulah yang membuat para peselancar manapun tertangang ingin menaklukannya. 

Panjang ombak pantainya bisa mencapai 2 kilometer dengan ketinggian ombak hingga 8 meter. Gelombang pasang di G-Land seringkali dapat membentuk tabung air yang hampir sempurna. Tak heran, jika ombak di G-Land disebut sebagai ombak terbaik kedua setelah Hawaii, Amerika Serikat.

Menariknya, G-Land menyajikan berbagai pilihan tipe ombak bagi peselancar manapun yang datang. Mulai dari peselancar pemula hingga peselancar yang sudah memiliki keahlian tingkat tinggi. 

Ombak G-Land memiliki tiga tingkatan antara lain Many Track WavesSpeedis Waves, dan Kong Waves.

Many Track Waves sering digunakan oleh peselancar pemula dengan ketinggian ombak 3 – 4 meter. Lalu, Speedis Waves ketinggian ombak mencapai 5 – 6 meter untuk peselancar tingkat sedang. Sementara Kong Waves, biasanya digunakan untuk peselancar tingkat professional, memiliki ketinggian ombak mencapai 6 – 8 meter.

Harmonisasi Warna

Selain menjadi tempat favorit bagi para peselancar, Pantai G-Land Banyuwangi memiliki harmonisasi warna yang indah dan mempesona.

Terdapat pasir pantai putih yang halus, hamparan laut biru yang luas, bebatuan karang dengan konfigurasi unik, serta pepohonan hijau. Perpaduan itu menjadikan G-Land pemandangan alam yang eksotis.

Pengunjung yang tidak bisa berselancar juga bisa melakukan berbagai aktivitas di laut seperti diving dan snorkeling.

Kegiatan menarik lainnya yang bisa dilakukan oleh pengunjung ialah tracking menggunakan sepeda ataupun berjalan kaki menyusuri pantai sambil menikmati pemandangan alam yang indah. Bahkan pengunjung juga bisa mengelilingi Taman Nasional Alas Purwo yang dikelilingi pepohonan yang menjulang tinggi.

G-Land juga memiliki banyak tempat foto yang bisa dijadikan sebagai objek foto menarik. Selain itu pengunjung bisa melihat satwa liar yang ada di Kawasan Taman Nasional Alas Purwo. Mulai dari kera hingga rusa. Hewan-hewan ini berkeliaran secara bebas.

Bagi pengunjung yang ingin menginap di G-Land, terdapat beberapa pilihan penginapan yang bisa disewa sesuai dengan fasilitas yang ditawarkan, diantaranya Bobby Surf CampJoyo’s Surf Camp, dan G-Land Jack’s Surf Camp.

Untuk menuju Pantai G-Land pengunjung bisa menggunakan kendaraan roda empat atau roda dua. Jarak tempuh kurang lebih 50 kilometer dari pusat Kota Banyuwangi. Durasi perjalanan menuju G-Land memakan waktu sekitar 2,5 jam.

Selama perjalanan pengunjung disuguhkan dengan pemandangan alam yang menawan. Langit biru yang begitu cerah, sinar mentari yang menghangatkan, hamparan sawah hijau, serta gunung yang menjulang tinggi membuat siapapun yang melihat merasakan kesegarannya alam yang murni.

Memasuki Kawasan Taman Nasional Alas Purwo, pengunjung menyusuri hutan dengan pohon-pohon tinggi yang masih sangat asri, disambut kawanan kera juga berkeliaran di jalanan dan pepohonan, selain itu ada juga rusa yang berada di sekitar pantai. Meski tidak langsung kabur, namun kera dan rusa tetap menjaga jarak dengan manusia.

Salah satu warga asli Banyuwangi yang berada di Taman Nasional Alas Purwo, Wawan mengatakan ombak G-Land sangat digemari peselancar. “Peselancar mancanegara mayoritas berasal dari Australia, Amerika, Inggris, dan Eropa,” ujar Wawan.

Menurut Wawan kegiatan surfing paling ramai pada Maret hingga Oktober setiap tahunnya. “Kalau tidak ada pandemi COVID-19, kejuaraan selancar dunia atau yang biasa disebut World Surfing League Championship Tour akan diselenggarakan di G-Land pada Juni lalu. Karena event ini memang yang paling ditunggu-tunggu oleh atlet surfing dunia,” kata Wawan.

Mengingat hal tersebut, Banyuwangi merupakan salah satu kota yang sukses dalam mengembangkan dan mengemas berbagai event di bidang pariwisata. Namun, sejak pandemi COVID-19 membuat berbagai macam event seperti WSL Championship Tour harus ditunda sampai situasi COVID-19 mereda.

Untuk memulihkan destinasi wisata di Banyuwangi, Pemerintah Kota Banyuwangi telah melakukan sosialisasi dan edukasi mengenai protokol kesehatan yang berlaku di era adaptasi kebiasaan baru kepada seluruh para pelaku usaha pariwisata serta masyarakat.

Bupati Banyuwangi, Azwar Anas, mengatakan masyarakat Banyuwangi sebagian besar telah sadar untuk menerapkan protokol kesehatan. Mulai dari penggunaan teknologi serta sertifikasi protokol kesehatan di berbagai bidang usaha telah dilakukan.

“Kami telah membuat aplikasi panduan kesehatan serta sertifikasi kebersihan dan kesehatan dari dinas kesehatan meliputi hotel, homestay, café, restoran, dan warung makan,” kata Azwar.

Untuk mendukung kembalinya destinasi wisata di Banyuwangi, Kemenparekraf memfasilitasi penyediaan fasilitas kamar kecil di Kawasan Taman Nasional Alas Purwo dan Kawasan Agrowisata di Tamansuruh.

Selain itu, alat penunjang kebersihan dan keamanan seperti, penyediaan tempat cuci tangan, tempat sampah, toilet portable, masker, face shield, sarung tangan, baju APD, alat semprot, tenda, life ring buoy, tandu lipat, signage (papan himbauan), dan kacamata goggle.

“Kesehatan masyarakat dan produktivitas perekonomian harus dijalankan dengan seimbang. Mengingat perubahan pola wisatawan membuat setiap destinasi wisata harus mengedepankan protokol kesehatan,” ujar Azwar.

Sumber & Foto: (Biro Komunikasi Kemenparekraf)

[RID/fiq]

Presiden Joko Widodo kembali menggelar rapat terbatas yang membahas penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional bersama jajarannya di Istana Merdeka, Jakarta, Senin, 3 Agustus 2020. Dalam rapat tersebut, Presiden memberi dua arahan yaitu yang pertama terkait sosialisasi protokol kesehatan kepada masyarakat.

"Yang pertama, saya tidak tahu sebabnya apa, tetapi suasana pada minggu-minggu terakhir ini kelihatan masyarakat berada pada posisi yang khawatir mengenai Covid-19. Entah karena kasusnya meningkat atau, terutama menengah atas melihat, karena orang yang tidak taat pada protokol kesehatan tidak semakin sedikit, tetapi semakin banyak," kata Presiden.

Berdasarkan data hingga Minggu, 2 Agustus 2020, kasus terkonfirmasi positif Covid-19 di Indonesia mencapai 111.455 orang dengan 68.975 orang sembuh dan 5.236 orang meninggal. Presiden pun menyoroti persentase angka kematian di Indonesia yang lebih tinggi dari angka kematian global.

"Kita tahu sampai kemarin sudah ada 111 ribu lebih kasus dengan case fatality rate 4,7 persen dan angka kematian di Indonesia ini lebih tinggi 0,8 persen dari kematian global. Ini saya kira yang menjadi PR besar kita bersama. Selain itu juga case recovery rate di negara kita, data terakhir adalah 61,9 (persen). Ini saya kira juga bagus, terus meningkat angkanya," kata Presiden.

Oleh sebab itu, Kepala Negara kembali mengingatkan agar penerapan protokol kesehatan terus disosialisasikan kepada masyarakat. Secara khusus, Presiden ingin agar sosialisasi tersebut dilakukan secara terfokus dan tidak dilakukan secara sekaligus.

"Saya ingin agar yang namanya protokol kesehatan, perubahan perilaku di masyarakat betul-betul menjadi perhatian kita. Saya ingin fokus saja, seperti yang saya sampaikan yang lalu, mungkin dalam dua minggu ini kita fokus kampanye mengenai pakai masker. Nanti dua minggu berikut kampanye jaga jarak atau cuci tangan misalnya," kata Presiden.

Untuk mendukung hal tersebut, Presiden ingin agar peran ibu-ibu Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) dilibatkan. Menurutnya, jika ibu-ibu PKK siap, maka mereka bisa menjadi cara yang efektif untuk menyosialisasikan protokol kesehatan dari rumah ke rumah.

"Saya kira PKK ini juga sangat efektif untuk door to door urusan masker. Urusan perubahan perilaku betul-betul harus kita lakukan dengan komunikasi di TV, di medsos, dan lain-lain secara masif dalam dua minggu ini dengan cara-cara yang berbeda," kata Presiden.

Arahan kedua yaitu terkait pemulihan ekonomi nasional di mana Presiden kembali menyoroti masalah realisasi anggaran di kementerian dan lembaga yang masih minim. Menurut Presiden, dari total Rp695 triliun stimulus untuk penanganan Covid-19, baru 20 persen atau Rp141 triliun yang terealisasi.

"Masih kecil sekali. Penyerapan yang paling gede itu ada di perlindungan sosial 39 persen, kemudian program UMKM 25 persen. Hati-hati ini. Yang belum ada DIPA-nya masih gede banget, mungkin 40 persen-an. DIPA saja belum ada, bagaimana mau realisasi?"

Presiden menilai hal tersebut disebabkan aura krisis di kementerian dan lembaga tersebut belum tampak sehingga masih terjebak pada pekerjaan harian tanpa mengetahui prioritas apa yang harus dikerjakan. Untuk itu, Presiden meminta Ketua Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional agar memerinci urusan tersebut dari setiap menteri terkait.

"Sehingga manajemen krisis ini kelihatan, lincah, cepat, troubleshootingsmart shortcut, dan hasilnya betul-betul efektif. Kita butuh kecepatan," kata Presiden. 

Sumber & Foto: Humas Kemensetneg

[RID/fiq]

© PT. Aliansi Rakyat Multimedia Indonesia 2021
magnifiercrossmenuchevron-down