Anas kembali membuka jendela kamarnya. Tepatnya bukan sebuah jendela, melainkan sebuah celah kecil berukuran tidak kurang dari tv 14 inch yang menjadi satu-satunya sumber udara di sebuah kontrakan kecil di suatu pemukiman kumuh dimana Anas menghabiskan umurnya bersama seorang lelaki tua renta yang selama ini telah mengurusnya sedari dia masih bayi, dan menurut pengakuan lelaki tersebut bayi Anas kecil ditemukan di gunungan sampah, suatu tempat yang merupakan sumber penghidupan bagi penduduk pemukiman.
Semua warga tersebut merupakan pendatang dari berbagai daerah tanpa keahlian ataupun pendidikan memadai untuk menjadi bekal hidup di kota besar, yang terkenal dengan istilah kejam. Hanya sebatas modal nekat dan mungkin selintas pemikiran nothing to lose menjadi satu-satunya bekal yang bisa dibawa untuk mengadu nasib ditengah derasnya kehidupan kota.
Anas mengernyitkan dahinya, kulit keningnya berkerut menahan rasa panas dari terik matahari yang serasa membakar ubun-ubun kepala.
Dia menyeka keringat dan kembali membuka selembar kardus yang merupakan tirai jendela kamarnya.
Anas kembali menjatuhkan dirinya diatas selembar tikar lusuh dan tua yang sudah robek dan usang dimakan usia.
Punggung, bahu, dan tulang belakangnyapun terasa sakit setiap kali dia merebahkan diri diatas tikar butut itu. Rasa sakit yang sudah menjadi bagian dari kehidupannya sehari-hari.
Rasa sakit itu tidak ada artinya dibandingkan rasa sakit didalam hatinya yang memiliki hasrat dan keinginan kuat untuk merubah nasib dan hidup menjadi orang kaya.
Benarkah? Tidak! Anas hanya seorang pemulung yang mengais sampah untuk dijadikan setetes air pengobat dikala dahaga dan beberapa bulir nasi yang menjadi obat dikala rasa lapar menyerang tiap organ tubuhnya. Keinginan Anas hanya ingin menemukan beberapa botol plastik, yang bisa ditukar dengan beberapa lembar uang, mungkin hasil uang itu dipandang tak bernilai oleh beberapa orang tertentu tetapi merupakan berkah langka bagi Anas.
Namun hari ini dia memutuskan tidak mencari sampah. Hari ini dia akan pergi ke ujung jalan yang merupakan sebuah tempat yang disediakan oleh beberapa sukarelawan untuk dijadikan sebuah tempat belajar gratis bagi anak – anak sekitar yang tidak memiliki biaya untuk pendidikan.
Dengan senyuman merekah dibibir berwarna kehitaman dan warna giginya yang telah menguning, Anas bangkit lalu berjalan keluar. Kedua matanya terpejam, hidungnya kembang kempis menghirup udara, dan pastinya tidak terjamin kebersihannya.
Tapi Anas masih menganggap hari ini adalah hari indah. Tumpukan sampah telah menjadi pemandangan sehari hari, bau menyengat menjadi parfum kesehariannya. Kembali Anas tersenyum lebar.
“Anak sialan! Mau pergi kemana kamu? “, seorang lelaki tua renta muncul dari gundukan sampah dengan wajah garang dan melotot menatap Anas.
Lelaki itu adalah yang mengurusnya selama ini. Lelaki dengan amarah tinggi yang tidak segan-segan menyiksa dan memeras tenaga Anas yang baru berusia 9 tahun.
“Aku mau pergi, mau lihat orang belajar! “, teriak Anas lantang, lantas kaki kecilnyapun mulai berlari menghindari Bapaknya yang mulai berjalan tertatih ke arahnya.
Sudah menjadi hal biasa, dia mendapat pukulan bahkan siksaan dari Bapaknya. Dan untuk hari inipun Anas memutuskan untuk pergi dan akan rela menerima siksaan ketika dia kembali nanti.
“Awas nanti kalau kamu pulang! “, teriak Bapak mengacungkan tongkat yang dia gunakan untuk mengais sampah.
Anas tidak menoleh. Arah kakinya berlari lurus ke ujung jalan, walau tanpa alas kaki untuk melindunginya dari permukaan tanah yang kasar dan kotor .
“hey, Anas! Kenapa kamu berlari? Kamu dipukul Bapakmu lagi? “,teriak seorang anak tidak jauh dari pinggir jalan.
Anas berhenti dan menoleh kearah sahabatnya; Yasin.
“Tidak”,sejenak dia terdiam. Dia terbungkuk mengatur nafasnya yang terengah.
“Aku mau lihat orang yang belajar”, lanjutnya diantara nafas yang ngos- ngosan.
“Memang Bapakmu mengijinkan ? Kalau dia tahu kamu tidak bekerja, dia pasti akan membunuhmu”,lanjut Yasin.
“Tadi dia mengejarku dan akan memukulku kalau aku pulang nanti”, Anas mengusap keringat diwajah dengan tangan kotornya..
“Kamu takut? “, tanya Yasin sembari memasukkan beberapa botol plastik yang dia temukan dari tumpukan sampah.
“Ah, aku tidak peduli”, Anas menghampiri Yasin dan membantu sahabatnya itu mengoreh – ngoreh tumpukan sampah .
Yasin menatap Anas. Tanpa peduli dengan raut wajah Yasin yang terlihat iba, Anas berkata simple,
“Aku sudah biasa dipukuli, jadi rasanya sudah tidak sakit lagi”,
“Dasar kamu! “, Yasin tersenyum menanggapi .
Senyuman polos dari kedua bocah tersebut mengembang iklas tanpa ada rasa khawatir akan getirnya hidup dan masalah kemiskinan yang mencekik urat leher.
“Kamu mau ikut denganku? “,tanya Anas kemudian.
“Belajar? “,Yasin mengernyitkan dahi.
Anas mengangguk, “Ayolah! Katanya guru disana cantik sekali! “,
“Benarkah? “, Yasin terdengar tertarik dan tanpa pikir panjang, segera dia membuang karung kotor yang dijadikannya tas punggung untuk menampung botol plastik.
Yasin langsung menarik tangan sahabatnya itu tanpa pikir panjang,
“Ayo kita berangkat! “.
Dua bocah tersebut berlari dihiasi gelak tawa dan terik matahari yang menjadi payung bolong.
“Nas, cuci mukalah dulu disini! “, Anas berbelok menuju sebuah sungai. Baru sadar Anas harus terlihat sedikit lebih baik dengan mencuci muka, walau biasanya hal tersebut sangat jarang sekali dia lakukan. Anas dan Yasin membasuh muka masing-masing dengan air sungai yang telah menjadi sorotan umum, sering sekali dikala musim hujan menjadi sumber bencana bagi pemukiman sekitar dengan dengan luapan dasyatnya.
Cipratan air dari tangan mereka membasahi pakaian yang dikenakan, terlihat lusuh dan warna putih telah luntur kecoklatan, dihiasi hiasan sulaman alami waktu yaitu berupa sobekan dan bolongan, mungkin akan tetap mereka banggakan sebelum mempunyai pengganti yang baru, khususnya bagi Anas.
“Kemarin aku menemukan sendal dari tumpukan sebelah utara”,dengan bangga Yasin mengacungkan kaki kirinya memamerkan sebuah sendal jepit berwarna hijau yang terlihat cukup kebesaran untuk ukuran kaki mungilnya.
“Ah percuma kalo kamu hanya menemukan satu saja tanpa pasangannya sebelah lagi! “,
komentar Anas menyipratkan air ke wajah sahabatnya.
“Kamu terlihat aneh hanya memakai sebelah sandal saja. Lebih mirip orang gila! “,lanjut Anas pedas, tapi Yasin tahu bahwa Anas hanya sekedar bercanda.
“Bagaimana menurutmu dengan ini? “,tanpa malu Yasin mengacungkan sebelah kaki kanannya yang juga memakai sandal jepit dengan warna yang berbeda.
Mata Anas melotot. Seketika itupun tawanya meledak menjadi-jadi. Selama ini Yasin memang menjadi obat dikala duka. Kekonyolan tingkah lakunya menjadi penghibur kala mereka berteduh dari terik matahari maupun butiran-butiran air hujan yang memberikan kehidupan pada bumi.
“,Mudah-mudahan besok aku bisa menemukan sandal jepit lagi”, lanjut Yasin kemudian.
“Sandal jepit yang sekarang kamu pakai saja sudah membuat perutku sakit karena tertawa, apalagi jika kamu menemukan sandal jepit baru ,bisa bisa aku mati tertawa!”,Anas terbahak.
“Mungkin bukan kamu yang akan mati tertawa, tapi orang lain”,sambar Yasin tidak mau kalah.
“ Maksud kamu? “, Anas mengernyitkan dahi.
“Karena sendal jepit itu akan aku berikan kepadamu dan harus kamu pakai! “,jawab Yasin berteriak puas.
Dan kembali gelak tawa merekapun meledak dan langsung menceburkan diri ke sungai. Air sungai yang sudah tidak jernih lagi menjadi teman bisu setia dalam berbagi tawa dan kebahagiaan.
“Ayo Yasin, kita harus pergi sekarang! “, ajak Anas
“Tapi baju kita basah”,Yasin mengibas ngibas tubuhnya supaya pakaiannya mengering.
“Kalau kita berlari ketempat belajar itu tentu pakaian kita akan cepat kering karena angin”, Anas menarik tangan Yasin, lalu mengajaknya untuk berlari.
Beberapa Anak tampak berdesak desakan didepan sebuah bangunan kecil yang biasa mereka sebut sekolah. Beberapa orang remaja berpenampilan rapih pun terlihat disana. Mereka adalah mahasiswa yang sudi menjadi sukarelawan sebagai seorang tenaga didik
Terburu-buru, Anas dan Yasinpun tidak mau ketinggalan dan ikut berdesak-desakan bersama anak anak yang lain.
“ Mana guru cantik yang tadi kamu bilang? “,bisik Yasin sementara matanya melirik kesegala arah mencari yang dimaksud.
“Nanti pasti kamu melihatnya”,jawab Anas walapun tidak terlalu pasti karena dia sendiri belum pernah melihat ibu guru yang dimaksudnya, dia hanya mendengar sekilas dari beberapa anak yang pernah berkunjung ketempat tersebut beberapa hari sebelumnya.
“Ayo anak-anak, duduk yang rapih, ya. Karena pelajaran akan segera kita mulai”, suara ramah seorang perempuan sayup sayup terdengar dari barisan depan. Kembali anak -anak mulai berdesakan berebut tempat duduk.
“Itu guru cantik yang kau maksud? “,kembali Yasin berbisik ditelinga Anas dan kali ini telunjuknya mengarah keseorang perempuan yang terlihat anggun memakai kemeja tangan panjang berwarna biru muda.
Senyuman manis dibibirnya menambah kesan manis dan ramah diwajahnya .
Anas tidak menjawab. Matanya tajam memandang dengan seksama sosok ibu guru itu yang tengah sibuk menanyai nama setiap anak.
Anas dan Yasin berada disana memang tidak untuk belajar karena merasa tidak tertarik. Mereka lebih suka bergumul dengan tumpukan sampah, mengais demi bisa mengisi perut untuk sehari dan bahwa hari esok bukanlah urusan yang harus dipikirkan sekarang .
Matahari mulai bergeser kearah barat. Tak terasa Anas dan Yasin sudah agak lama berada disana.
“Sepertinya kita harus segera pulang sekarang. Aku takut Bapakmu sedang mencarimu sekarang dan sudah menyiapkan pukulan dasyat untuk menyambutmu. Kita terlalu lama disini “, Yasin menarik lengan baju Anas sembari beranjak.
Anas terdiam tidak merespon. Tatapannya tertuju kepada si ibu guru yang berjalan kearah mereka .
“Ayolah, Anas. Kita harus pulang !”, kembali Yasin menarik lengan bajunya dan kali ini agak memaksa.
“memang benar guru ini cantik sekali “,gumam Anas.
“ini pasti hari pertamamu disini”, sang guru tersenyum bertanya.
Ingin sekali Anas menjawab tapi refleksnya malah menggeleng dan secara spontan menyeret lengan baju Yasin dan segera berlari keluar.
Ibu guru memandang heran, walau dia tahu Anas dan Yasin pasti masih merasa segan berada disana.
“Ada apa denganmu ,Anas”, ketus, Yasin menghempas lengan bajunya dari seretan Anas.
Anas terengah dan mendekati pohon rindang yang tumbuh diantara dua rumah. Dia terdiam sejenak untuk menarik nafas dan menormalkan kembali detak jantungnya.
“Kamu payah! “,Yasin mendekat dan bersandar dibawah pohon disamping Anas .
“Guru itu memang cantik “,lanjut yasin tersenyum .
“Iya, tapi sebenarnya aku tidak terlalu tertarik untuk belajar lagi disana”, komentar Anas, dahinya berkerut.
“Akupun tidak tertarik. Aku lebih suka mencari botol plastik dan kardus bekas dan siapa tahu aku bisa menemukan sendal jepit digundukan sampah”,dahi Yasinpun berkerut. Tatapannya mengarah kedepan .
Tangannya meraih sebuah batu kerikil kecil, sejenak dia mengamati bentuk batu tersebut namun kemudian dilemparnya jauh jauh
“Aku tidak perlu sendal jepit. Akupun tidak perlu cuci kaki. Aku tidak punya waktu dan…. Ayolah kita hidup ditengah sampah, mencuci kaki adalah hal yang tidak berguna! “, dengan setengah bergumam kata kata itu terlontar dari mulut Anas sementara kedua tangannya sibuk mengelap kotoran di telapak kakinya .
”Tapi aku sudah berjanji padamu Anas”, jelas yasin memperhatikan telapak kaki temannya yg kotor dan berwarna hitam .
“Bolehlah. Nanti bisa aku jual kalau kau memberiku yang bagus”, balas Anas simpel dan ia masih sibuk mengelap telapak kakinya dengan jari-jari tangannya .
Bukannya merasa sakit hati atau kecewa atas omongan Anas yang terdengar tidak menghargai keinginannya memberikan sesuatu, malah senyuman yang menjadi balasan Yasin mengetahui betul sahabatnya tidak pernah menganggap hal apapun serius.
Tak usah terlalu dianggap seriuslah, nikmati saja! Itulah sifat khas Anas.
Matahari senja mulai mundur kearah barat. Bayangan sinarnya seolah sebuah garis yang tersembul muncul dari belakang pencakar langit yang seakan menjadi dinding pemisah antara siang dan malam.
Yasin agak mempercepat langkahnya dan langsung memungut kembali karung setengah kosong yang tadi dia tinggalkan begitu saja.
“Untung tidak diambil orang “,Yasin memeriksa isi karungnya.
“Isinya masih sedikit, kamu masih mau mencari lagi? “,tanya Anas.
“Tidak”,Yasin menggeleng.
“Hari sudah sore, aku ingin pulang “,lanjutnya mulai melangkah yang kemudian diikuti oleh Anas.
“Kamu tidak takut pulang kerumah tanpa membawa apapun? “,Yasin menoleh pada Anas yang berjalan dibelakangnya.
Anas menggeleng membuang nafas, walau raut wajahnya menunjukan rasa takut dan juga penyesalan yang terpampang jelas.
“Hari ini aku tidak mencari botol. Bapakku tadi marah ketika dia melihatku keluar dari rumah… .”,Anas membungkuk mengambil sebuah ranting kering.
“Dia sudah sering memukulku ,jadi tidak apa-apa, aku tidak akan menangis “, lanjutnya menoreh -noreh tanah dengan ranting yang dipegangnya.
“Kasian kamu. Bapakku tidak pernah memukulku. Malah dia menyuruhku untuk berhenti memulung dan katanya aku harus sekolah supaya pintar dan bisa jadi orang kaya “,jelas Yasin.
”Terus kenapa kamu tidak ikuti kata Bapakmu? “,tanya Anas.
“Ah, tidak mau! Tadi saja sudah membosankan. Lebih baik aku mulung dan bisa bermain sepuasku di sungai “, bantah Yasin.
“Ya sudah, besok kita bisa memulung bersama lagi “,ucap Anas.
Yasin mengangguk dan segera berbelok ke arah rumahnya yang terletak tidak jauh dari tempat tinggal Anas.
Sebuah bangunan kecil yang mungkin bagi sebagian orang dianggap tidak layak dijadikan untuk tempat tinggal apalagi disebut sebagai sebuah rumah.
Kardus dan papan, mungkin tidak berarti bagi sebagian orang dari tingkat derajat yang berbeda namun dapat disulap menjadi sebuah istana impian bagi Anas, Yasin dan semua warga disana menjadi tempat tinggal yang seakan sebuah villa mewah diatas bukit hijau nan indah.
Itulah yang ada dibenak Anas, tempat tinggalnya, berdinding lembaran kardus, papan dan beratapkan seng, terasa membakar saat sinar matahari tepat berada diatas ubun -ubun.
Pelan-pelan kaki Anas mengendap masuk kerumah. Bola matanya melirik kiri dan kanan mencari tahu keberadaan Bapaknya. Dia menarik nafas lega. Anas berjalan masuk ke kamar, sangat berantakan dengan sebuah kasur tua, jahitan pinggirnya sudah putus dan memperlihatkan isi didalamnya.
Beberapa potong baju bergelantungan diatas sebuah tali yang dibentangkan dari ujung sisi kamar keujung yang lain.
Lantainya pun masih polos tertutup tanah, terlihat licin dan mengkilap karena ditapaki setiap hari.
Kembali dia menarik nafas.
Kali ini ada rasa dahaga ditenggororokannya.
Dia memungut sebuah cangkir plastik yang tergeletak diatas lantai. Dia meraih teko kuning tua, salah satu sisinya sudah terlihat penyok. Teko itu terasa sangat ringan saat Anas mengangkatnya. Hanya beberapa tetes air yang keluar dari mulut teko itu. Tak seorangpun yang menyediakan air minum hari ini karena Anas malah lupa mengerjakan tugasnya dirumah.
“kenapa tadi aku harus pergi”,gumam Anas sembari membawa teko kosong tersebut keluar, mengetahui bahwa Bapaknya sebentar lagi akan pulang dan pastinya mencari air untuk diminum .
Hari sudah mulai petang,remang -remang lampu kota terlihat berkerlipan seakan sekumpulan kunang -kunang berwarna warni yang tengah bergerombol sombong memamerkan warnanya. Anas mempercepat langkahnya. Dia harus mengejar waktu sebelum Bapaknya datang. Anas menuju sungai dan tanpa pikir panjang dia langsung mengisi teko dengan air sungai, karena kepepet.
Hari ini dia tidak memiliki uang untuk membeli air minum , malah dari pagi tadi dia belum memasukan apapun ke mulutnya untuk mengganjal perut. Pikirnya ,ini hanya sekali saja.
Besok dia akan mencari uang dan membeli air minum. Toh Bapak tidak akan tahu yang penting dia bisa minum, itu sudah cukup. Segera dia kembali setelah tekonya terisi penuh.
Belum dia menyalakan korek api untuk memasak air, dari luar terdengar suara seseorang menjatuhkan sesuatu. Itu pasti Bapak pulang dan menjatuhkan karungnya seperti biasa.
“Anas! “,teriaknya dari luar dengan intonasi tidak senang.
Anas melotot kaget. Walau dia mengatakan pada Yasin bahwa dia tidak takut kalau dipukuli Bapaknya ,tapi ketika sudah didepan mata, hatinyapun kembali ciut.
Dan segera setelah mendengar langkah Bapaknya semakin mendekat, dia langsung bersembunyi dibawah meja.
“Anak kurang ajar! Awas nanti kalau pulang! “,Bapak meletakan tongkat yang selain dia gunakan untuk membantunya berjalan juga sering dia gunakan untuk memukuli Anas.
Tak satupun suara terdengar karena Anas tidak ingin Bapaknya tahu bahwa dia tengah bersembunyi dibawah meja. Bapak mengira Anas masih belum pulang.
Dia menaruh topi capingnya diatas meja dan mengambil cangkir yang tadi Anas letakkan disebelah topinya. Keningnya sedikit berkerut ketika dia mengangkat teko. Dia berpikir seharusnya teko itu kosong karena Anas yang seharusnya memasak air pergi begitu saja dari pagi tadi.
Ah, rasa haus sudah hampir mencekik tenggorokannya dan tanpa pikir panjang dia menuangkan air dari talam teko ke cangki plastik ditangannya.
Anas menggigit ujung jari menyaksikan hal tersebut. Bapaknya akan sangat marah kalau mengetahui air tersebut belum dimasak apalagi mengetahui itu adalah air sungai. Tapi perutnya juga terasa geli tidak kuat menahan tawa ketika melihat Bapak mulai meneguk airnya. Kerutan diwajah Bapak tampak makin jelas ketika lidahnya mulai merasakan air yang diteguknya dan segera memuntahkannya. “Air apa ini?! “, gerutunya dan segera membuka tutup teko memeriksa air macam apa yang terisi didalamnya. Terlihat jelas walau tatapannya yang sudah mulai kabur ,air didalam teko sangat keruh dan berbau.
“Sialan! “,spontan Bapak melemparkan cangkir dan teko yang tanpa sengaja teko tersebut menghantam kaki Anas.
“Aduh”,Anas tidak bisa menahan rasa sakitnya.
“Hah?! “,celingukan, Bapak mencari sumber suara.
“Ternyata kamu bersembunyi disini, anak kurang ajar! “,bapak menjewer telinga Anas dan menggusurnya keluar.
“Sakit, Pak”,teriak Anas .Jeweran bapaknya terasa sangat keras hingga telinganya terasa panas dan berdengung.
“Anak Gila! Kamu ingin aku mati?! “,teriaknya, dan dengan rasa air kotor yang masih menempel dilidahnya, dia meludahkannya pada Anas.
Anas menunduk. Kedua matanya terpejam saat bapak meludahinya.
“Air apa yang kamu masukkan kedalam teko?! “,
“air sungai, Pak”,jawab Anas polos.
Kepalanya serasa terbakar mendengar jawaban Anas tersebut.
Spontan dia melepaskan jewerannya dan kali ini lebih buruk, dia mengambil tongkatnya. Anas melotot. Dia tidak ingin dipukuli lagi, dan segera berlari keluar dan tanpa sengaja menubruk karung yang tadi bapak letakkan didepan pintu rumah.Semua isi karung berantakan.
“Wah gawat”,gumam Anas.
“Awas kamu! “,Teriak bapak melihat hasil kerjanya dari tadi pagi berantakan.
“maaf pak, saya tidak sengaja”,ucap Anas membela diri. “sudah coba meracuniku dengan air sampah, sekarang kamu menumpahkan semua isi karungku… “,belum bapak selesai, Anas langsung lari.
“Anak gila! “,teriak Bapak.
“Semua salah Bapak! Kenapa bapak pulang lebih awal sehingga aku tidak punya waktu untuk memasak air! “,teriak Anas. Kaki mungilnya terus berlari meninggalkan bapaknya yang berteriak dan perlahan menghilang seiring langkah kakinya yang makin jauh.
“Aduh”,seketika Anas berhenti karena kakinya terasa sakit menginjak sesuatu. Dengan berjalan tertatih dia berhasil duduk diatas sebuah batu.
Anas memeriksa telapak kakinya yang berlumuran darah dan menetes kepermukaan tanah. Anas masih meringis kesakitan.
Tapi dia berhasil mencabut sebuah paku yang berukuran sedang yang menusuk telapak kakinya. Dia merobek bagian lengan kaos bututnya untuk membalut lukanya. Dan kembali berjalan dengan terpincang -pincang. Dia tidak tahu arah kemana untuk dituju.
Tapi yang pasti untuk sementara ini Anas tidak akan pulang dulu kerumah bapaknya. Dia yakin beberapa hari kemudian Bapaknya yang sudah mulai pikun pasti akan segera lupa dengan kejadian tadi dan menerimanya kembali di rumah.
Beberapa ekor burung terlihat bergerombol kembali ke sarang mereka. Sementara Anas masih berjalan terpincang menuju kesebuah stasiun kereta api tua yang sudah tidak dipergunakan lagi .
“lebih baik aku tidur disini saja”, guman Anas menarik nafas duduk dilorong gelap stasiun tersebut.
Luka dikakinya masih mengeluarkan darah tapi sebisa mungkin Anas menahan rasa sakitnya. Tanpa pikir panjang Anas langsung pulas tertidur. Tanpa selimut dan tanpa alas tidur.
Entah waktu menunjukan pukul berapa, yang pasti hawa terasa sangat dingin dan angin malam yang berhembus seakan menusuk pori -pori kulit.
Anas meringkuk mencoba menghangatkan tubuh dan walaupun matanya terasa sangat lengket untuk terbuka tapi kedua kakinya bergerak merapat mencari kehangatan.
“Hey, bangun! “,terasa kaki seseorang menendang tubuh kurusnya yang tengah meringkuk.
“hey, bangun! “,tendangan terasa makin kuat yang membuat Anas sontak terbangun
“siapa yang mengijinkan kamu tidur disini? “,ini tempatku! Kamu tidak bisa seenaknya tidur ditempat orang! Cepat pergi! “,usir seorang anak remaja gembel.
“Tapi aku ngantuk, semalam saja. Besok pagi aku akan segera pergi dari sini “,dengan polosnya Anas meminta.
“Apa! Kamu pikir di dunia ini ada yang gratis?! “,tanpa belas kasihan remaja itu menyeret Anas dan kembali menendang tubuh anas berkali-kali.
Anas meringis kesakitan dan berteriak meminta ampun. Tadi tendangan malah datang bertubi-tubi dari beberapa anak remaja gembel lain.
“pergi kamu! “,usirnya setelah puas menendang dan menyakiti Anas dan salah seorang dari mereka bahkan berani meludahi wajah Anas.
Anas terdiam tak sanggup berkata apa-apa. Lagipula walaupun dia melawan dia akan tetap kalah. Sambil meringis kesakitan dan berjalan sempoyongan Anas meninggalkan stasiun kereta menembus hujan yang mulai deras.
Ada rasa penyesalan dihatinya, kenapa dia harus kabur jauh dari rumah tadi? Toh walau kabur atau tidak dia akan tetap habis dipukuli Bapak tapi tetap dia akan punya tempat untuk tidur nyenyak.
“ah dasar bodoh”,Anas memukul kepalanya sendiri karena perbuatan bodohnya.
Dan penderitaannya terasa makin sempurna saat hujan turun dengan lebatnya mengguyur tubuhnya dari pangkal kepala hingga ujung jempol kakinya. Anas hanya bisa berlari menuju kearah rumahnya menapaki jembatan bambu licin dengan air sungai yang meluap seakan ingin menelan tiap inci bumi yang dilewatinya. Anas hanya ingin pulang.
Yasin menerobos kerumunan orang-orang yang memadati pinggir sungai. Terlihat juga ada beberapa polisi disana. “Apa yang terjadi? “pikir Yasin. Sudut bibirnya tersenyum dan segera berlari menjauhi kerumunan. Kaki kurusnya berlari kencang menuju rumah Anas.
Dia harus segera memberitahukan sahabatnya tentang apa yang terjadi. Anas pasti akan sangat senang dan tertarik mendengar soal ini.
Yasin memperlambat larinya ketika pintu rumah Anas hanya beberapa meter dihadapannya.
Dia mengernyitkan dahi heran
“Apa yang terjadi? Kenapa ada polisi di rumah Anas juga? “,
Yasin makin heran melihat dua orang polisi menggiring Bapak sementara beberapa warga berteriak – teriak mengolok Bapak.
“Dasar pembunuh! Tega kau membunuh anakmu sendiri! “,
“Sudah jelas dia pelakunya .kami sering melihat dia memukuli Anas !”,
Apakah benar Bapak telah membunuh Anas dan menghanyutkan mayatnya di sungai? Atau mungkin Anas terpeleset saat melewati jembatan saat keadaan hujan lebat dan sungai yang meluap tadi malam?
“Ya Tuhan. Berikan sendal ini untuk Anas di surga”,Yasin melemparkan sepasang sendal jepit ke sungai. Berlari -lari dia mengikuti arus sungai lalu membawa hanyut sendal tersebut, bola matanya tak sedetikpun berpaling .
Langkah Yasin berhenti seiring jalur aliran sungai yang tak lurus lagi, dan bersama arus,sendal jepitpun berbelok dan hilang dari pandangan Yasin.
Kembali sang senja mulai menutupi siang dengan selimut oranye. Yasin menyusuri tepi sungai dan beberapa kali wajahnya menengadah menatap langit senja berharap sungai mengantarkan sendal jepit untuk sahabatnya di surga sana. [Ika]