Esai

Elit Politik Candu Retorika?

Masih saja kurang puas, nafsu berkuasa, merasa paling pintar, terlalu percaya diri, tidak mau berkerjasama dengan pihak lainnya, ini merupakan salah satu gambaran gerombolan elite politik yang hanya suka beradu retorika untuk perubahan. Coba saja bandingkan pengikutnya dengan wacana yang sedang dibicarakan, tidak sama sekali terkoneksi searah, sevisi, sejalan dan menggagas perubahan. Bukannya tidak perlu kritik, serat berbeda pilihan pendapat itu baik halnya, tetapi sebaiknya sikap wacana beretorika harus di kesampingkan terlebih dahulu bagi kepentingan bangsa dan bernegara. Karena sudah lelah mendengarnya, tidak ada aksi. Tidak perlu menjadi elite politik, kalau hanya bisa membuat gusar keadaan masyarakat, “Ada nyawa ada rejeki“.

Pemimpin jaman sekarang sudah melihat, mendengar, turun ke masyarakat, tanpa jalan pintas membaca peta-peta nusantara bagi perubahan, membagi negara tidak hanya dalam sudut pandang satu garis lurus, satu meja makan, satu rapalan doa, tetapi beribu-ribu pemikiran dari setiap manusia untuk dijadikan dasar-dasar keadilan, kesejahteraan dan kemanusiaan. Saya memilih, tapi berusaha untuk menjadi pengikut arus global yang cerdas, walaupun kemampuan menganalisa tidak lebih baik dari tukang semir dan sapu jalanan, ya itulah cara berpikir. Harap maklum dengan pendapat saya yang bodoh ini. Aku makan nasi sambal agar tidak tidur dalam berpikir, kuminum kopi pahit agar tetap tersadar bahwa aku hanya pengisi ruang jalanan. Mungkin saja suatu waktu, kami akan merasakan juga duduk bersama anda semuanya dan anda merasakan juga seperti kami,”Adat Pasang, Turun Naik“.

Pasti berbeda dengan para elite politik, dengan gaya, diksi, intonasi, penjelasan berbagai bahasa retorika di depan layar kaca, seperti paling mengerti dan mewakilkan sekelompok pengikutnya. Kapan anda mulai berani untuk memberikan sesuatu yang besar kepada negara anda?. Jangan berbicara, beralasan, berpikir, berpendapat khalayak orang-orang yang tidak mampu, karena anda kaum elite belum bisa merasakan hal-hal tersebut. Keberuntungan dan nasib baik hanya terjadi pada anda, sepertinya tidak begitu. Persoalannya adalah, kaum elite terlalu meminta banyak pada penyelenggara negara serta pemerintahan, coba saja hitung pengeluaran para pejabat-pejabat, lalu bandingkan dengan para kaum bawah, yang sebenarnya pemegang hak serta gagasan kebangsaaan. Masih berpikir bahwa anda adalah wakil dari kepentingan kami semuanya?. Sudah cukup menjadi penonton, lakukan yang anda bisa dalam pembangunan, perubahan, kemajuan, semua ini demi generasi bangsa sendiri. Sekarang sudah waktunya para elite memilih kemauannya sendiri dalam memberikan aksi terbaiknya atau pun sandiwara lainnya, ” Alang berjawab, tepuk berbatas“.

Agat tidak berpikir sebelah bagian, memang ada bagusnya memberikan retorika, wacana dalam politik karena akan membuat para masyarakat belajar apa yang sedang menjadi permasalah pokok. Tetapi jangan salahkan masyarakatnya juga ketika keluar tokoh badut, dagelan serta drama dalam retorika tersebut. Contohnya pelestarian lingkungan, terlihat hijau tetapi penuh lubang, terlihat lebat tetapi terperangkap dalam gelap, terlihat rimba tetapi sunyi dari teriakan penghuni malam. Semuanya haruslah mendapatkan pelajaran hidup, tetapi sebaiknya berjalan sesuai dengan instuisi seorang manusia, “baik rupa sepemandangan, baik bunyi sependengaran“.

Belajar demokrasi, haruslah mempunyai kesimpulan dalam perjuangan pelaksanaannya, agar tidak terjadi kesalahpahaman bertindak. Ukuran menilai proses demokrasi, pola pikir, wawasan yang ada dalam kehidupan bermasyarakat bukan dilihat dari pembicaraan para elite politik. Karena kita diberikan kemampuan istimewa untuk menilai semua hal, “Belo melu seton”.

Mari kembali membentuk keharmonisan, tidak perlu menjaga api untuk kemudian terbakar dalam gagasan pribadi, mari menjadi bagian dalam perubahan berbagi kekuasaan. Mengawasi pemimpin kharismatik adalah dengan cara menjadi pengikutnya yang mempunyai ketrampilan, kritis, serta dapat mengatur dirinya sendiri, rasionalis, politis, demokratis.

Pernyataan politik para elite, harus mendapatkan kontrol dari semua elemen masyarakat agar tetap menjaga suasana keharmonisan berbangsa serta negara, sekali lagi mungkin diingatkan bahwa peran-peran pengikut ini merupakan hal terpenting agar bisa berpikir mandiri, cerdas, sigap, apabila para elite menanamkan kepentingan kekuasaan pribadi dalam kewenangannya. Oleh sebab itu, faktor pendidikan serta pengetahuan selalu di asah, rasa, serta karya, “Balilu tan pinter durung ngalkoni”. [fiq/rid].

Peace | Love | Unity | Respect
Tinggalkan Komentar

Berita Terkait

Pancasila Sudah Final, Laksanakan!

sumber foto: https://id.wikipedia.org/wiki/Pancasila Pancasila adalah ideologi, seharusnya menjadi kenyataan hidup bangsa ini. Pancasila oleh para pendiri Republik ini juga dimaksudkan sebagai…

Melawan atau Dilawan Urbanisasi ?

2018 tatap  Jakarta, merupakan tantangan, kesedihan, kekhawatiran, keberkahan ataupun kesuksesaan. Masih selalu menjadi tanda tanya besar bagi kehidupan sejahtera warganya saat ini,…

Data Hoaks Pada Tahun 2018

Sejak Agustus 2018 sampai 21 Januari 2019, Kementerian Komunikasi dan Informatika menerima laporan konten hoaks yang disebarkan melalui aplikasi pesan instan WhatsApp sebanyak 43 konten hoaks.…

Guru – Guru Balita Kini dan Masa Depan

Obrol - obrol tentang pendidikan, program pendidikan, kampanye pendidikan, kesejahteraan, kompetensi, karier pendidikan selalu seksi untuk dibahas. Dari jaman dahulu sampai dengan jaman…