Rakyat.id-Jakarta. – Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga mengatakan perkawinan anak merupakan praktik yang dapat mengancam masa depan anak dan mencoreng seluruh hak anak. Perkawinan anak juga merupakan salah satu bentuk tindak kekerasan terhadap anak dan melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).
“Untuk menciptakan sistem perlindungan anak yang holistik guna menghapuskan perkawinan anak, dibutuhkan adanya pelibatan dari anak – anak, remaja, dan kaum muda itu sendiri. Untuk itu, saya mengapresiasi peluncuran Modul Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM) Berdaya untuk Pencegahan Perkawinan Anak dengan Pelibatan Anak, Remaja, dan Kaum Muda,” ujar Menteri PPPA dalam acara Dialog Nasional Inspirasi dan Inovasi Upaya Pencegahan Perkawinan Anak Di Masa Pandemi “Launching Publikasi Rumah Kitab: Modul PATBM Berdaya untuk Pencegahan Perkawinan Anak dengan Pelibatan Remaja dan Kaum Muda”, Kamis (10/3).
Data menunjukkan pada 2018, 1 dari 9 perempuan berumur 20-24 tahun menikah sebelum usia 18 tahun (sekitar 11 persen). Sementara hanya 1 dari 100 laki-laki berumur 20-24 tahun menikah sebelum usia 18 tahun (hanya sekitar 1 persen). Berdasarkan data BPS, meski secara nasional angka perkawinan anak turun (dari 11,21% pada 2018 menjadi 10,82% pada 2019 dan 10,35% pada 2020), namun terjadi kenaikan di 9 provinsi. Lebih lanjut lagi, data pada 2020 menunjukkan adanya 22 provinsi dengan angka perkawinan anak yang lebih tinggi dari angka nasional.
“Praktik perkawinan anak patut menjadi perhatian dan prioritas kita semua karena telah menimbulkan dampak yang sangat masif. Anak yang menikah memiliki kerentanan yang lebih besar dalam mengakses pendidikan dan layanan kesehatan, berisiko besar mengalami tindak kekerasan, dan berpotensi memunculkan dampak buruk lainnya, termasuk pada persoalan kemiskinan lintas generasi. Apalagi, saat ini kita pun masih menghadapi bencana non-alam wabah Covid-19. Studi Literatur UNFPA dan UNICEF juga menemukan risiko anak perempuan dinikahkan semakin tinggi dalam situasi setelah terjadinya bencana. Berdasarkan studi UNFPA pada 2020, terdapat potensi terjadinya sekitar 13 juta perkawinan anak di dunia pada rentang waktu 2020-2030 akibat pandemi ini,” ujar Menteri PPPA.
Woro Srihastuti Sulistyaningrum, Direktur Keluarga, Perempuan, Anak, Pemuda & Olahraga, Bappenas, juga turut menyampaikan apresiasi yang sebesar – besarnya bagi Yayasan Rumah Kita Bersama (Rumah KitaB), Australia Indonesia Partnership for Justice 2 (AIPJ2) dan pihak – pihak yang berpartisipasi dalam penyusunan Buku Pengantar dan Modul PATBM Berdaya untuk Pencegahan Perkawinan Anak dengan Pelibatan Anak, Remaja, dan Kaum Muda.
“Buku Pengantar dan Modul PATBM Berdaya untuk Pencegahan Perkawinan Anak dengan Pelibatan Anak, Remaja, dan Kaum Muda ini merupakan suatu dokumen yang mendukung Kebijakan Perencanaan Nasional dan Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak, khususnya pada Strategi Optimalisasi Kapasitas Anak dan Lingkungan yang mendukung pencegahan perkawinan anak. Dengan terciptanya buku ini, diharapkan cita – cita pemerintah Indonesia untuk menurunkan angka perkawinan anak menjadi 8,74 pada 2024 sesuai RPJMN 2020-2024 dan 6,94 pada 2030 sesuai dengan Sustainable DevelopmentGoals dapat terwujud,” ujar Woro.
Modul PATBM Berdaya untuk Pencegahan Perkawinan Anak dengan Pelibatan Anak, Remaja, dan Kaum Muda merupakan modul pelatihan untuk penguatan kapasitas pengurus PATBM dan kelompok remaja, yang merupakan hasil kajian Yayasan Rumah KitaB, AIPJ2, dan beberapa pihak pendukung lainnya.
Pada kesempatan tersebut hadir para pihak yang telah berkontribusi dalam upaya perlindungan anak di lapangan, diantaranya Ketua PATBM Kelurahan Kalibaru Kota Jakarta Utara, Kepala Desa Songgom Kabupaten Cianjur, Remaja Pengurus PATBM Kelurahan Kalibaru Kota Jakarta Utara, Kaum Muda Pengurus PATBM Kelurahan Pegambiran Kota Cirebon, dan Forum Anak Desa Songgom Kabupaten Cianjur. Mereka memaparkan praktik baik dan tantangan dalam mengimplementasikan berbagai upaya dalam perlindungan anak, khususnya pencegahan perkawinan anak di daerahnya.
H. Abdul Karim, Ketua PATBM Kel. Kalibaru, Jakarta Pusat mengatakan perlu adanya kolaborasi dari berbagai pihak atau stakeholder terkait dalam upaya pencegahan perkawinan anak.
“Perlu ada kesamaan dalam konsep dan pemikiran bahwa persoalan perkawinan anak ini merupakan kewajiban kita, jadi tidak saling lempar tanggung jawab. Persoalan ini adalah persoalan kita semua, maka solusinya perlu melibatkan kita semua. Pemerintah sebagai pemangku kebijakan tidak akan bisa bekerja sendirian, mereka akan butuh berbagai informasi dan fakta – fakta yang terjadi di lapangan, dari kita yang langsung bergerak di level masyarakat,” katanya.
Menanggapi pemaparan praktik – praktik baik tersebut, Rohika Kurniadi Sari, Asisten Deputi Pemenuhan Hak Anak atas Pengasuhan dan Lingkungan KemenPPPA mengatakan praktik – praktik baik yang telah dilakukan PATBM harus diintegrasi dalam perencanaan pembangunan, pelaksanaan dan monitoring/evaluasi tingkat desa. Aksi – aksi dan hasil pendampingan yang telah dilakukan oleh PATBM dapat juga disebarluaskan melalui media secara masif dalam rangka mengukur perubahan yang mendukung upaya pencegahan perkawinan anak pada tingkat desa dan perwujudan percepatan Kabupaten/Kota Layak Anak.
“Sistem ini harus terencana dan berkelanjutan, serta dapat dimasukkan dalam kerangka kebijakan, maupun program/kegiatan. Hal ini dapat dimulai dari tingkat desa, kemudian dapat diangkat dalam skala Kabupaten/Kota Layak Anak. Pada tingkat provinsi layak anak dan juga dalam skala besar seperti di RPJMN nasional,” tutup Rohika.