Penulis: Goenawan Muhamad
Sumber: Catatan Pinggir
– untuk Ulil Abshar Abdalla
SIAPA yang menghukum mati seseorang karena iman dan pendirian akan mendengar sepotong kepala yang ketawa. Konon itulah yang terjadi setelah Sunan Kudus, di hadapan para wali dan para pembesar istana, memancung seorang cendekia yang dianggap sesat, pada suatu hari Jumat di abad ke-15, di halaman masjid keraton, setelah salat selesai.
Orang itu bernama Jenar. Nama lengkapnya Syekh Siti Jenar—sebuah nama yang tak henti-hentinya jadi legenda di masyarakat Jawa. Ia memikat karena ia melambangkan perlawanan yang dianggap sah terhadap kekuasaan para ulama dan penguasa yang mengunggulkan ortodoksi. Literati Jawa yang berpengaruh pada umumnya memang tak bersahabat dengan mereka yang gemar membalut hidup dengan syariat serta merasuk ke pemikiran agama yang legalistis—yang oleh penulis Wedatama di abad ke-19 diejek sebagai orang yang anggubel sarengat.
Sebuah puisi Jawa yang ditulis pada tahun 1849, Babad Jaka Tingkir, juga dengan halus mengekspresikan sikap yang sama dengan kisah Syekh Siti Jenar. Nancy K. Florida membuat telaah khusus tentang puisi itu dalam Writing the Past, Inscribing the Future, yang versi Indonesianya akan terbit awal tahun ini, dan dari sana dapat kita peroleh amsal yang menarik setidaknya dari dua cerita: pembunuhan Jenar dan pembangunan Masjid Demak.
Syahdan, begitu kepala Jenar terpenggal, darah pun mengalir dalam beberapa warna. Tokoh ini pernah dianggap tiruan Al-Hallaj, yang juga dihukum mati karena pendirian tasawufnya. Tapi, sementara dalam cerita dari Baghad abad ke-10 itu darah yang tumpah dikatakan membentuk 84 tetes yang menulis kata “Allah”, dalam kisah Jenar adegan yang menakjubkan ialah ketika kepala yang copot itu tertawa. Ia berseru agar darahnya segera kembali ke tubuh, sebab kalau tidak, akan gagal mereka masuk surga. Maka darahnya pun cepat mengalir balik ke urat nadi, dan bercaknya tak tampak lagi.
Setelah itu, kepala Jenar pun mengitari jasadnya tiga kali, dan akhirnya bertaut pas kembali ke tubuhnya. Tak ada bekas luka. Bahkan cahaya paras Jenar berpendar dan bersalam: “Assalamualaikum.” Tampak bahwa hukuman mati oleh Sunan Kudus itu hanyalah sikap sewenang-wenang yang sia-sia. Kepala, lambang pemikiran, dan tubuh, lambang pengalaman, tak akan bisa ditundukkan oleh pedang, syariat, dan kekuasaan mana pun. Lagi pula tubuh Jenar raib, gaib. Momen itu adalah isyarat bahwa apa pun kekerasan yang dilakukan, ada yang tak bisa mati dan bahkan luput dari rumusan kata dan pikiran (“lenyep ing kawekasane/pan tan kena winuwus“). Jenar bukanlah sebuah subyek yang terpasung dalam identitas. Ia bergerak tak tertangkap, tak dapat dipetik (“kesit datan kena pinethik“).
Dengan kata lain, ia sebenarnya seorang manusia pada umumnya. Ia jatimurti, atau sukma-dalam-wadag, roh-di-dunia, der Geist-im-Welt. Dalam keseluruhan itu, ia hadir dalam “rasa” yang sebenarnya hanya bisa dikemukakan dalam “bahasa” yang tak diverbalkan, dudu rerasan. Ia tak bisa dijabarkan dalam kaidah hukum, sebab hukum membuat manusia dilepaskan dari konteks. Hukum bertolak dari asumsi bahwa dalam menjalankan imannya, manusia bisa diseragamkan.
Tapi tidak. Iman manusia adalah ibarat Masjid Demak. Babad Jaka Tingkir membuat pembangunan masjid tertua di Jawa itu sebagai alegori yang sarat makna: bangunan itu didirikan tanpa lebih dahulu dipastikan arah kiblatnya. Baru setelah rampung, delapan orang wali yang mengerjakannya berdebat sengit (pradongdi). Akhirnya wali kesembilan yang dapat menyelesaikan perkara pelik itu. Ia Sunan Kalijaga.
Wali ini, yang dalam pelbagai karya sastra Jawa dianggap wakil “warna lokal” dalam Islam, tafakur sebentar. Kemudian tangan kanannya menjangkau Ka’bah di Mekah dan tangan kirinya merengkuh pucuk (sirah gada) Masjid Demak. Ditariknya keduanya hingga akhirnya bertemu, sewujud, bertaut:
Payok Kakbah lawan sirah gada masjid
Dèn-nyataken sawujud
Cèples kenceng datan mènggok
Dengan kata lain, sebagaimana diuraikan Florida, Islam yang “universal” (Ka’bah) bertaut dengan Islam yang “partikular” (Masjid Demak). Yang satu tak menghilangkan yang lain; selamanya ada latar sejarah setempat dalam tafsir.
Ortodoksi mencoba menampik unsur sejarah setempat itu, tapi sebenarnya Islam tak lahir dengan ortodoksi. Seperti ditulis M. Jadul Maulana dalam Syari’at (Kebudayaan) Islam: Lokalitas dan Universalitas, sebuah esai pendek yang tersiar dua tahun yang lalu dalam website LKiS dari Yogya, ortodoksi bermula baru setelah Nabi tak ada lagi. Dalam memperebutkan pengganti Rasulullah, tiap kubu menghadapi persoalan: bagaimana Nabi, terasa hadir secara asli? Untuk mendapatkan yang “asli” itulah kemudian agama dibersihkan dari jejak sejarah, dari lokalitas. Yang dekat pun dihilangkan, yang jauh jadi idaman, sebagai yang tegar dan tunggal. Masjid Demak tak mengacu kepada semua itu. Imajinasi para aulia di masa itu membuat Mekah dan Ka’bah jadi dekat, bahkan tampak dalam jarak tiga mil (among tigang ngemèl tinon). Dan dengan alegori tiang keempat, yang menakjubkan bukanlah yang tegar dan tunggal. Kalijaga membuat tiang itu bukan dari batu, bata, ataupun balok, tapi dari tatal. Adapun tatal adalah lapis kayu yang mengeriting yang terbuang ketika permukaan papan diratakan dengan ketam. Maka masjid dengan tiang tatal ini adalah masjid yang didukung oleh mereka yang dibuang, mereka yang bukan lapisan yang bisa disamaratakan. Masjid itu juga bukan rumah Tuhan yang kukuh karena pokok yang solid, lurus, perkasa.
—pokok Sunan Kudus, pokok kekerasan dan kekuasaan.