Rakyat.id,- Jakarta, – Menteri Keuangan RI menghadiri dua pertemuan penting yang membahas isu-isu iklim yaitu (I) The Ministerial Meeting of the Coalition of Finance Ministers for Climate Action (12 Oktober 2020) dan (ii) High Level Opening Dialogue pada Green Climate Fund (GCF) Private Investment for Climate Conference (14 Oktober 2020).
Ministerial Meeting of The Coalition of Finance Ministers for Climate Action
Dalam Ministerial Meeting of The Coalition of Finance Ministers for Climate Action – WB/IMF Annual Meetings pada tanggal 12 Oktober 2020 Menteri Keuangan Sri Mulyani sebagai anggota dari Koalisi Menteri Keuangan untuk Perubahan Iklim, secara khusus menyampaikan pentingnya mempertahankan kondisi turunnya emisi gas rumah kaca pada masa pandemi melalui kebijakan ekonomi yang ramah lingkungan: “We need to forever lock in the benefit of having cleaner air and build back better in the recovery phase and beyond.”
Dalam forum ini, Sri Mulyani menyampaikan beberapa kebijakan Pemerintah yang mendukung perubahan iklim. Kementerian Keuangan telah melakukan Climate Budget Tagging (CBT) yang mencatat bahwa sejak 2016 sampai dengan 2020, Pemerintah telah mengalokasikan 3,9% dana APBN per tahun untuk aksi perubahan iklim. Secara nyata, CBT ini telah digunakan Pemerintah sebagai underlying asset untuk penerbitan Green Sukuk sebesar total USD 2,9 miliar selama periode 2018-2020 dan telah dipergunakan untuk membiayai proyek-proyek ramah lingkungan.
Lebih lanjut, dalam rangka meningkatkan kapasitas pendanaan, Sri Mulyani menyampaikan bahwa Indonesia telah membentuk Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) yang langsung dipercaya untuk mengelola dana REDD+ sebesar USD103,78 juta dari GCF.
Untuk semakin meningkatkan kualitas pembangunan ekonomi yang berwawawan lingkungan, Indonesia juga mempertimbangkan kebijakan carbon pricing dalam mengurangi gas rumah kaca sekaligus meningkatkan investasi berwawasan lingkungan.
Secara khusus, Kementerian Keuangan sedang mengembangkan Climate Change Fiscal Framework (CCFF) yang akan menetapkan strategi dan kerangka kebijakan fiskal dalam mencapai target global Indonesia dalam pengurangan emisi dan ketahanan terhadap perubahan iklim.
Dalam kesempatan lainnya, Sri Mulyani menekankan bahwa upaya pemulihan yang berkelanjutan akan berhasil selama aksi perubahan iklim sejalan dengan perbaikan ekonomi serta menciptakan lapangan pekerjaan. Dalam menyusun strategi pemulihan para pengambil kebijakan tidak boleh melupakan isu tentang kesejahteraan rakyat.
GCF Private Investment for Climate Conference
Dalam Sesi Pertama High Level Dialogue “Greener, Smarter, Fairer: Mobilizing Leadership for A Low-Carbon and Climate Resilient Recovery” yang diselenggarakan pada 14 Oktober 2020 yang juga dihadiri oleh Presiden Republik Senegal dan Deputi Sekjen PBB, Sri Mulyani yang mewakili Presiden RI menyampaikan strategi Indonesia menghadapi tantangan ganda, yaitu perubahan iklim dan pandemi COVID-19.
Dalam pidatonya, Sri Mulyani mengawali dengan menyampaikan bahwa di tengah dampak Covid-19 pada perekonomian Indonesia, green recovery akan menjadi pendorong transformasi ekonomi global yang berbasis lingkungan hidup. Indonesia akan terus berkomitmen untuk mengurangi emisi karbon selain mencapai negara yang tahan iklim.
Krisis akibat pandemi telah berdampak pada krisis kesehatan masyarakat, oleh karena itu ekonomi hijau yang berkelanjutan sangat penting dan bermafaat untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang lebih baik di masa depan. Indonesia telah meletakkan fondasi ekonomi hijau dan membuat beberapa kebijakan strategis terkait iklim jauh sebelum pandemi terjadi. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 telah memasukkan perubahan iklim menjadi arus utama dalam strategi Pembangunan Rendah Karbon Indonesia (LCDI) yang lebih luas.
Di sisi pembiayaan, Pemerintah telah menerbitkan Sovereign Global Green Sukuk setiap tahun sejak 2018 dengan total USD 2,75 miliar, yang dialokasikan untuk membiayai transportasi berkelanjutan, mitigasi banjir di daerah yang sangat rentan, akses ke energi dari sumber terbarukan, pengelolaan limbah, dan proyek efisiensi energi di seluruh negeri. Proyek-proyek tersebut diharapkan dapat mengurangi sekitar 8,9 juta emisi CO2. Pemerintah juga telah menerbitkan Ritel Sukuk Hijau pertama di dunia pada tahun 2019 dengan total investasi sekitar USD 100 juta.
Untuk mengatasi pandemi tersebut, Indonesia telah mengalokasikan USD 47,9 miliar untuk langkah-langkah stimulus fiskal di mana 29% di antaranya untuk skema perlindungan sosial sementara 42% untuk insentif pajak, kredit, dan stimulus untuk usaha kecil dan menengah, badan usaha milik negara dan korporasi. Stimulus juga termasuk pendanaan untuk proyek hijau padat karya seperti proyek restorasi bakau seluas 15.000 hektar dan mempekerjakan sekitar 25.000 orang di wilayah pesisir.
Pendanaan iklim, menjadi isu besar bagi setiap negara berkembang. Menurut laporan update biennial kedua tahun 2018 menyebutkan bahwa Indonesia membutuhkan setidaknya USD 247,2 miliar atau sekitar USD 19 miliar per tahun untuk mencapai target NDC pada tahun 2030. Dalam 5 tahun terakhir (2016-2020), Indonesia telah mampu mendanai sekitar 34% dari kebutuhan pembiayaan iklim nasional setiap tahunnya. Untuk mengatasi gap pembiayaan sebesar 66%, Indonesia membutuhkan pembiayaan dari sektor swasta. Sektor swasta memegang peran kunci dalam pengembangan dan implementasi proyek iklim karena keahlian khusus sektor, teknologi, efisiensi, pembiayaan, dan kewirausahaan. Meskipun demikian sektor swasta masih harus menghadapi berbagai hambatan, antara lain regulasi dan pasar keuangan yang belum berkembang.
Untuk mengatasi hambatan, pemerintah memberikan fasilitas berupa kerangka regulasi dan kebijakan yang menguntungkan bagi sektor swasta. Pemerintah Indonesia telah memberikan berbagai insentif fiskal untuk meningkatkan pembangunan rendah karbon termasuk pendanaan geothermal untuk menangani risiko keuangan akibat eksplorasi. Peraturan Presiden tentang Penetapan Harga Karbon dan Harga Pembelian Pembangkit Energi Terbarukan sedang dalam proses penyusunan.
Berbagai skema kemitraan swasta-publik yang inovatif terus dikembangkan untuk lebih mendukung sektor swasta. Salah satunya adalah pemanfaatan blended finance melalui pembentukan ‘SDG Indonesia One’ dan Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH). Selain itu, Indonesia telah menetapkan peta jalan keuangan berkelanjutan yang mewajibkan lembaga keuangan untuk meningkatkan portofolionya pada proyek hijau.
Selain dari Pemerintah dan sektor swasta, komunitas internasional memainkan peran kunci untuk memobilisasi pendanaan iklim. Untuk mendukung komitmen dan upaya negara berkembang, negara maju harus memperbarui dan memenuhi komitmen penyediaan USD 100 miliar per tahun pada tahun 2020 seperti yang dijanjikan pada COP ke-15 pada tahun 2009.
Meski demikian, GCF telah menunjukkan komitmennya untuk membantu negara berkembang, termasuk Indonesia, dalam memobilisasi dana untuk proyek iklim. Secara khusus, Pemerintah Indonesia ingin mengapresiasi kontribusi GCF untuk Pembayaran Berbasis Hasil (RBP) REDD + yang baru saja disetujui senilai USD 103,78 juta.
Dana RBP akan digunakan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat yang tinggal di dalam atau di sekitar kawasan hutan melalui dua kegiatan utama: Pertama, penguatan Kesatuan Pengelolaan Hutan pada restorasi hutan dan kegiatan bisnis yang akan mendorong investasi swasta dalam rantai nilai hasil hutan. Kedua, meningkatkan program perhutanan sosial untuk menjamin mata pencaharian masyarakat sekaligus melestarikan hutan. Sebagai catatan tambahan, Pemerintah telah menjalankan skema perhutanan sosial sejak tahun 2015 seluas 12,7 juta hektar milik masyarakat setempat.
Mengingat peran pentingnya, Sri Mulyani menyampaikan bahwa Indonesia mendorong GCF untuk melanjutkan dan meningkatkan kemajuan besar dan memperkuat portofolio investasinya. Bersama dengan sektor swasta, termasuk bank nasional, Pemerintah Indonesia akan mendorong GCF untuk lebih mengembangkan instrumen pembiayaan inovatif yang dapat mendorong investasi iklim dan mewujudkan pemulihan hijau, tangguh, dan inklusif.
Dalam penutup, Sri Mulyani menyampaikan bahwa Indonesia, dalam menghadapi pandemi tetap teguh pada komitmen iklimnya. “Pemulihan hijau yang inklusif akan membantu Indonesia membangun kembali lebih kuat. “Beginilah cara kita harus, dan akan, menangani tantangan ganda (twin challenges) COVID-19 dan perubahan iklim”, tutup Sri Mulyani.
Sumber & Foto: (Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan)
[RID/fiq]