Rakyat.id – Washington, 15 Oktober 2021 – Pada hari Rabu, 13 Oktober 2021 para Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G20 melakukan pertemuan keempat dalam masa Presidensi G20 Italia. Pertemuan diselenggarakan secara hybrid, serta menjadi bagian dari rangkaian pertemuan tahunan Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund and World Bank Group Annual Meeting 2021 IMF WBG AM 2021).
Tujuan Pertemuan ?
Pertemuan ini juga memiliki nilai penting menjelang pelaksanaan tugas Presidensi G20 Indonesia untuk melanjutkan dan mendorong peran kepemimpinan G20 dalam menjawab tantangan global dan menciptakan pertumbuhan yang semakin inklusif, kuat, dan berkelanjutan. Pada pertemuan ini, fokus negara anggota G20 membahas isu untuk mengatasi tantangan jangka pendek dan menengah global secara efektif, termasuk divergensi ekonomi, perpajakan internasional, pembiayaan sistem kesehatan, serta transisi menuju ekonomi dan masyarakat yang lebih berkelanjutan, digital dan inklusif dengan memanfaatkan sumber daya yang tersedia dalam rencana pemulihan.
Kondisi ekonomi dunia ?.
Dalam beberapa bulan terakhir, ekonomi dunia mulai menunjukkan pemulihan yang lebih kuat berkat dukungan kebijakan yang berkelanjutan, vaksinasi dan pembukaan kembali kegiatan ekonomi. Di sisi lain, prospek inflasi dan respon terhadap kebijakan moneter bank sentral, serta pergerakan harga aset, termasuk di pasar properti, dimonitor dalam menghindari potensi terjadinya pengetatan keuangan global yang tidak diinginkan, serta menimbulkan tantangan bagi negara-negara yang sangat bergantung pada pembiayaan internasional, terutama bagi negara-negara dengan mata uang yang lebih fluktuatif.
Sudut pandang Menteri Keuangan Republik Indonesia ?.
Pada kesempatan ini, Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati menyoroti pertumbuhan global yang tidak merata dan akses terhadap akses terhadap vaksin merupakan persyaratan untuk pemulihan berkelanjutan. Disampaikan juga tentang upaya pemerintah dalam meningkatkan dan mempercepat vaksinasi kepada masyarakat yang telah mencapai lebih dari 40 persen penduduk, dengan rata-rata 2 juta vaksinasi per hari. Selain itu, Menkeu menyampaikan bahwa pemerintah memanfaatkan momentum krisis saat ini dalam melanjutkan sejumlah reformasi struktural untuk memperkuat fondasi bagi pemulihan ekonomi, salah satunya melalui Omnibus Law Cipta Kerja tahun lalu dan pengesahan Undang – Undang (UU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) tahun ini.
Di antara banyaknya tantangan global yang saat ini dihadapi, perubahan iklim menjadi salah satu yang terberat dan dapat mengancam peradaban manusia. Tidak hanya itu, perubahan iklim juga dapat berdampak pada pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan dan stabilitas keuangan global. Oleh karena itu, Indonesia menekankan pentingnya untuk memastikan bahwa transisi hijau dalam upaya penanganan perubahan iklim tidak hanya adil dan teratur, tetapi juga terjangkau (A Just, Orderly and Affordable) terutama bagi negara-negara berkembang dan negara miskin.
“Bauran kebijakan harus memungkinkan negara untuk meminimalisasi konsekuensi yang timbul dari transisi hijau. Upaya penurunan emisi di sektor energi melalui transisi dari penggunaan bahan bakar fosil (fossil phased out) harus dipersiapan dan dilaksanakan secara bertahap, dengan dukungan akses yang terjangkau dalam pembangunan infrastruktur dan teknologi rendah karbon yang berkelanjutan, meminimalisasi kerugian ekonomi dan sosial bagi berkembang dan negara rentan, termasuk memitigasi risiko hukumnya”, ujar Menkeu.
Pendanaan menjadi salah satu tantangan besar bagi negara-negara yang memiliki komitmen untuk mengatasi perubahan iklim. Komitmen negara-negara maju sangat penting dalam mendukung pembiayaan untuk negara berkembang, dan mendorong kerja sama dengan investor publik dan swasta. Disampaikan juga pentingnya skema yang dapat memberikan keuntungan pada instrumen hijau agar lebih banyak menarik investasi. Pemerintah Indonesia akan terus mendukung agenda iklim G20. Salah satu komitmen kuat Indonesia dalam mendukung agenda iklim ialah mengadopsi reformasi fiskal untuk mempercepat transisi hijau.
Saat ini, Indonesia dalam proses menerbitkan peraturan tentang penetapan harga karbon dan mengembangkan Kerangka Kerja Fiskal Perubahan Iklim. Di sektor keuangan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menyusun peta jalan Keuangan Berkelanjutan dalam dua tahap (mencakup periode 2015-2019 dan 2021-2025) sebagai panduan dalam menerapkan pembiayaan berkelanjutan dan memastikan penerapannya efektif.
Pembahasan lainnya di G20 ?
Hal lain yang diangkat dalam pembahasan G20 adalah dukungan kesepakatan atas dua pilar reformasi pajak internasional, yaitu (1) negara pasar dari perusahaan multinasional berhak mendapatkan alokasi pemajakan atas penghasilan global perusahaan digital global atau multinasional terbesar dan (2) pengenaan tarif pajak minimum global sebesar 15%. Kesepakatan ini mencerminkan keberhasilan multilateralisme dalam mengatasi tantangan global untuk memerangi praktik base erosion profit shifting (BEPS) dan secara lebih luas, persaingan tidak sehat tarif pajak atau race to the bottom dalam perpajakan internasional.
International Taxation ?
Dalam sesi “International Taxation”, Menkeu menyampaikan bahwa Indonesia akan terus berkolaborasi secara intensif dengan OECD/G20 Inclusive Framework on BEPS dalam mengembangkan rencana implementasi untuk memastikan kesepakatan tersebut dilaksanakan secara global paling cepat pada tahun 2023. Indonesia berkomitmen untuk menjaga momentum dalam implementasi dari kesepatakan tersebut pada masa Presidensi tahun 2022.
Di level domestik, sebagai salah satu upaya untuk merespons tren perpajakan internasional, Indonesia baru saja mengesahkan UU HPP yang salah satunya mengatur tentang kerja sama dalam pemungutan pajak. Undang-undang tersebut memungkinkan partisipasi pemerintah dalam konsensus global tentang digitalisasi ekonomi yang disepakati dalam Kerangka Inklusif OECD, serta merevisi undang-undang domestik untuk menyelaraskannya dengan konsensus global. Selain itu, dalam UU HPP, Pemerintah Indonesia juga memperkenalkan pengaturan baru tentang tunjangan dan penyesuaian tarif serta lapisan untuk penghasilan kena pajak orang pribadi (OP). Peraturan juga merevisi tarif PPN yang berbeda untuk setiap jenis barang dan jasa kena pajak, meningkatkan tarif PPN menjadi 11% pada tahun 2022 dan 12% pada tahun 2025, serta memperkenalkan pajak karbon.
Pada kesempatan tersebut, Menkeu juga menyampaikan bahwa Indonesia mengapresiasi capaian strategis Presidensi G20 Italia, yaitu, (1) dukungan G20 untuk negara-negara rentan yang terdampak pandemi (2) pembentukan Sustainable Finance Working Group (SFWG) yang menghasikanl peta jalan keuangan berkelanjutan G20; (3) pembentukan High Level Independent Panel (HLIP) tentang pembiayaan untuk kesiapsiagaan dan respons pandemi; (4) Kesepakatan perpajakan digital; dan (5) Dialog Investor Infrastruktur G20.
“Semua pencapaian ini penting bagi komitmen G20 terhadap pertumbuhan yang kuat, berkelanjutan, inklusif, seimbang, dan tangguh. Italia menunjukkan bahwa G20 dapat berfungsi sebagai penjaga kepentingan ekonomi dan keuangan global seluruh negara termasuk negara berkembang”, ujar Menkeu.
Di tahun 2022, sebagai Presidensi G20, Indonesia bertekad untuk mengatasi tantangan global yang masih akan muncul dan mencari solusi terbaik, memastikan bahwa semua negara dapat pulih bersama, dan berjalan menuju masa depan yang berkelanjutan. Oleh karena itu, Indonesia akan mengusung tema “recover together, recover stronger” dalam Presidensi G20 di tahun depan.
“Untuk dapat pulih bersama dan lebih kuat, kita perlu mendorong produktivitas, meningkatkan ketahanan dan stabilitas, serta memastikan pertumbuhan yang berkelanjutan dan inklusif. Ini harus didukung oleh kepemimpinan global kolektif yang kuat serta lingkungan dan kemitraan yang memungkinkan,” ungkap Menkeu saat menutup pertemuan G20.
Jalur Keuangan (Finance Track) Presidensi Indonesia akan fokus pada enam agenda prioritas: (1) Exit Strategy untuk mendukung pemulihan, (2) Upaya mengatasi luka dalam perekonomian untuk mengamankan pertumbuhan di masa depan, (3) Sistem pembayaran di era digital, (4) Keuangan berkelanjutan, (5) Inklusi keuangan, dan (6) Perpajakan internasional.
Selain itu, Indonesia akan melanjutkan diskusi isu – isu legacy seperti (1) Mengintegrasikan risiko pandemi dan iklim dalam pemantauan risiko global; (2) Penguatan Global Financial Safety Net (GFSN); (3) Meningkatkan Arus Modal; (4) Melanjutkan Inisiatif Kesenjangan Data (Data Gap Initiatives); (5) Meningkatkan Reformasi Regulasi Sektor Keuangan; (6) Memperkuat Kesinambungan Utang dan Transparansi Utang; (7) Mempercepat agenda infrastruktur menuju pembangunan yang berkelanjutan dan inklusif; (8) Memanfaatkan dukungan MDB; (9) Memperkuat Pencegahan, Kesiapsiagaan dan Respons Pandemi; dan (10) Melanjutkan dukungan untuk menarik investasi sektor swasta di negara-negara berpenghasilan rendah, seperti di kawasan Afrika.
Indonesia secara resmi akan menjadi Presidensi G20 pada tahun 2022 setelah dilakukannya serah terima dari Italia kepada Indonesia pada Konferensi Tingkat Tinggi G20 (KTT G20) di Roma, Italia pada 30-31 Oktober 2021.
Sumber : (KEMENKEU RI)
Foto : RID/tps
[RID/fiq]