Tuduhan penyebaran paham Komunisme serta vonis empat tahun penjara oleh Mahkamah Agung kepada Budi Pego merupakan tindakan kriminalisasi serta upaya untuk meredam dan melemahkan penolakan warga atas operasi tambang emas di Gunung Tumpang Pitu, Banyuwangi. Budi Pego adalah seorang petani Buah Naga asal Desa Sumberagung, Kecamatan Pesanggaran, Banyuwangi, yang selama ini aktif melakukan penolakan atas tambang emas PT Bumi Suksesindo (BSI) dan PT Damai Suksesindo (DSI) – milik Merdeka Copper Gold – yang beroperasi sejak 2012 di Gunung Tumpang Pitu, pesisir selatan Banyuwangi.
Budi Pego dituduh menyebarkan paham komunisme saat melakukan aksi penolakan dan blokade tambang emas pada 4 April 2017 lalu. Aksi penolakan warga tersebut diduga telah disusupi oleh pihak tertentu sehingga muncul pemasangan spanduk penolakan tambang yang dibubuhi gambar palu dan arit yang identik dengan lambang Partai Komunis Indonesia.
Akhirnya, pada 16 Oktober 2018, Heri Budiawan, divonis empat tahun penjara oleh Mahkamah Agung (MA), dengan tuduhan telah menyebarkan ajaran komunisme dengan media spanduk. Ia dijerat dengan pasal 107a UURI No. 27 Tahun 1999 Tentang Perubahan kitab Undang-undang Hukum Pidana yang berkaitan dengan kejahatan terhadap keamanan negara. Sebelumnya, Budi Pego telah menjalani hukuman tahanan selama 10 bulan pasca terbitnya putusan Pengadilan Negeri (PN) Banyuwangi dan Pengadilan Tinggi (PT) Jawa Timur. Namun, karena tak terima dengan putusan PN dan PT, Heri Budiawan dan tim kuasa hukumnya mengajukan Kasasi di MA. Akan tetapi, dalam perjalanannya, hakim MA malah menaikkan vonis menjadi empat tahun penjara.
Kejanggalan lainnya adalah kelambanan MA dalam mengeluarkan salinan putusan kasasi atas Budi Pego. Celakanya, Sunarto S.H., Wakil Ketua MA Bidang Non-Yudisial, pada 28 Desember 2018 mengaskan bahwasan Kejaksaan di Kabupaten Banyuwangi sudah bisa mengeksekusi Budi Pego walau hanya berbekal petikan putusan dari Mahkaham Agung. Padahal, hingga saat ini, baik Budi Pego maupun tim kuasa hukum belum mendapatkan salinan putusan penuh dari MA. Bahkan PN Banyuwangi pada 25 Februari 2019 berkirim surat ke tim kuasa hukum Budi Pego, menyatakan bahwa hingga saat ini pihaknya belum menerima berkas perkara putusan tersebut.
Atas dasar putusan MA yang janggal inilah, akademisi hukum bersama koalisi masyarakat sipil menggelar eksaminasi putusan PN Banyuwangi, PT Surabaya dan MA atas Budi Pego. Eksaminasi yang digelar pada 14 Maret 2019 dihadiri oleh tiga eksaminator, yakni Anugerah Rizki Akbari S.H., M.Sc. dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) JENTERA; Wahyu Nugroho S.HI., M.H. dari Fakultas Hukum Universitas SAHID; dan Arsil dari Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) sekaligus pengajar di STHI JENTERA.
Anugerah Rizki Akbari, menyatakan bahwa permasalahan mendasar dari putusan janggal ini adalah pemahaman hakim atas pasal yang didakwakan jaksa. “Fakta persidangan tidak menunjukkan keterkaitan antara Budi Pego dengan keberadaan logo palu arit, padahal dakwaannya adalah menyebarkan ajaran komunisme”. Selanjutnya, ia juga menyatakan bahwa hakim seharusnya melihat kasus ini secara utuh, bahwa aksi yang diikuti Budi Pego berdasarkan kepentingan penyelamatan lingkungan hidup.
Rizki juga menekankan bahwa prinsip dasar hukum pidana adalah Geen Straf Zonder Schuld, tidak ada pidana tanpa ada kesalahan. Karenanya harus dibuktikan keterkaitan Budi Pego dengan dengan dakwaan pidananya. “Kalau tidak bisa dibuktikan keterkaitan Budi Pego dengan pemasangan logo palu arit dan penyebaran komunisme, artinya Budi Pego harus bebas dari segala dakwaan,” pungkasnya.
Wahyu Nugroho juga menegaskan bahwa dalam kasus Budi Pego, mulai dari hakim tingkat pertama hingga kasasi telah terjadi penggiringan argumentasi hukum. Dari seorang warga Negara yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang layak, digiring ke arah penjeratan dengan ketentuan hukum yang lain, dalam hal ini adalah pasal 107a KUHP yang tidak ada kaitannya dengan apa yang diperjuangkan Budi Pego. “Isu utamanya adalah bagaimana Negara dapat terhindar dari ketentuan UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pasal 66 yang menyebutkan setiap orang yang memperjuangkan lingkungan hidup yang layak tidak dapat digugat secara pidana maupun perdata,” ungkapnya.
Selanjutnya, Wahyu juga mengomentari hakim yang sama sekali tidak memasukkan pendapat saksi ahli dari hukum Budi Pego. “Padahal saksi sudah menjelaskan tidak adanya Mens Rea atau niat berbuat pidana dari tersangka. Bahkan dalam aksinya sama sekali tidak ada seruan terkait komunisme,” ungkapnya. Ia juga mengingatkan bahwa dalam perspektif Negara hukum, syarat utamanya adalah penghormatan HAM dan juga digeskan dalam konstitusi. “Sayangnya, sepertinya hakim dalam kasus Budi Pego abai dalam hal ini,” pungkasnya.
Arsil dari LeIP menyatakan bahwa kasus ini seharusnya sangat sederhana, apakah tindakan Budi Pego memenuhi unsur pidana yang didakwakan atau tidak. “Jelas selama persidangan, bahkan barang bukti spanduk bergambar palu arit tidak dapat dihadirkan. Tidak ada satupun saksi yang menyatakan Budi Pego membuat, menyuruh membuat ataupun membawa spanduk tersebut”. Arsil juga menegaskan tidak ada satupun tindakan Budi Pego yang memenuhi unsur pidana khususnya pasal 107a KUHP.
“Terlalu sumir untuk mengatakan bahwa dengan satu gambar sudah dianggap sebagai menyebarkan paham komunisme. Bahkan tidak ada satupun aturan yang menyatakan palu dan arit adalah logo terlarang, yang dilarang secara hukum kan ajaran komunismenya,” pungkasnya.
Hari Kurniawan, salah satu kuasa hukum Budi Pego yang hadir saat eksaminasi tersebut, menyebutkan bahwa sangat jelas Budi Pego dijadikan sebagai target kriminalisasi. “Penangkapan atas Budi Pego jelas demi membungkam penolakan warga atas tambang di Tumbang Pitu. Budi Pego yang selama ini terlihat vokal bersama warga melawan tambang. Apalagi yang melaporkan Budi Pego ke Polisi adalah pihak perusahaan yakni PT BSI,” ungkapnya.
Ia juga menambahkan bahwa dakwaan atas Budi Pego jelas mengada-ngada. “Saksi Paeno dalam persidangan mencabut pernyataannya dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Kepolisian yang menyebutkan dia mendengan Budi Pego menyerukan penggambaran palu arit. Namun BAP itu tetap dipakai dalam putusan persidangan,” pungkasnya.
Surti handayani dari For-Banyuwangi menjelaskan bahwa hasil eksaminasi ini akan dijadikan materi untuk surat desakan kepada MA agar segera mengeluarkan salinan Putusan Kasasi yang hingga saat ini masih belum diterima oleh PN Banyuwangi. “Bagaimana Budi Pego bisa mengajukan Peninjauan Kembali (PK) kalau salinan putusan penuhnya hingga saat ini belum diterima oleh kuasa hukum,” ungkapnya. Ia juga menyampaikan bahwa hasil eksaminasi ini juga akan dijadikan bahan untuk penyusunan amicus curiae dalam PK yang akan diajukan oleh Budi Pego.
Pengadilan Budi Pego menunjukkan bahwa perlindungan hukum bagi rakyat yang memperjuangkan hak atas ruang hidupnya masih sangat lemah. Belum lagi permasalahan peradilan kita yang masih belum bisa dipercaya sepenuhnya. Celakanya, kehadiran Negara malah membela kepentingan korporasi dan memperlancar perampasan ruang hidup rakyat oleh korporasi.
Sumber: www.walhijatim.or.id
Narahubung:
Surti Handayani: +6285921542398
Hari Kurniawan: +628175175154
Siaran Pers Bersama:
Sekolah Tinggi Hukum Indonesia JENTERA
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
Jaringan Advokasi Tambang (JATAM)
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)
For-Banyuwangi
Koalisi Rakyat Untuk Hak Atas Air (KRUHA)
Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KONTRAS)
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)
Indonesia For Global Justice (IGJ)
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
Greenpeace Indonesia
Indonesia Centre for Environmental Law (ICEL)