Tunjukan bahwa kader-kader Partai Berkarya memiliki akhlak dan integritas yang baik, karena Partai Berkarya didirikan sebagai kekuatan perbaikan,” ujar ketua Dewan Pertimbangan Partai Berkarya saat memberi pembekalan kepada caleg Partai berkarya pada acara diklat di Provinsi Banten.
Titiek juga mengatakan, bahwa Partai Berkarya memiliki cita-cita besar, visi dan misi yang jelas, untuk menjadi kekuatan perbaikan bagi bangsa ini dalam semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.
Saya menyimak apa yang dikatakan putri mantan Presiden Soeharto itu jelas bukan hanya sekedar untuk membakar semangat kader Partai Berkarya yang hadir, Titiek sebagai ketua Dewan Pertimbangan Partai Berkarya sedang memberikan pemahaman pandangan mengenai sikap politik yang harus dimiliki kader Partai Berkarya.
Sejalan dengan apa yang ditekankan oleh Titiek, disebut dengan tegas; bahwa “kader partai berkarya harus memiliki akhlak yang baik.” Sejatinya hal itu lah yang paling penting untuk dimiliki insan berpolitik, karena ahlak sesungguhnya berfungsi untuk menentukan ukuran perbuatan manusia, baik atau buruk dengan menggunakan tolok ukur akal pikiran atau rasio, dalam moral dan susila menggunakan tolok ukur norma-norma yang tumbuh, berkembang, berlangsung dalam masyarakat, dalam Islam, dalam akhlaq, menggunakan ukuran Al Qur’an dan Al Hadis untuk menentukan baik-buruknya”.
Dari sisi agama Islam yang saya anut, sikap berpolitik dengan akhlak dapat kita uraikan bahwa, dalam Islam tidak mengajarkan seseorang yang sholat lima waktu kemudian setelah masuk dalam dunia politik ia bisa melakukan apa saja, menghalalkan segala cara untuk meraih tujuannya. Artinya, tidak boleh seorang muslim mengerjakan sholat, kemudian mengatakan; saya sudah menunaikan kewajiban saya sebagai muslim dengan melaksanakan sholat, dan sekarang saya mau bertemu dengan tim pemenangan saya untuk merancang kecurangan pemilu.
Orang berpolitik dengan landasan beragama tak memilih tempat ataupun kondisi. Tidak mungkin seseorang berkata, saya mau jadi islam di masjid, saya mau jadi islam di rumah, tapi saya tidak mau jadi islam di pasar, di kantor, di dunia politik. Namun yang terjadi perilaku berpolitik seperti itu sangat tampak terjadi di masyarakat kita belakangan ini. Simbol-simbol agama digunakan, pencitraan dilakukan dengan begitu sempurna bahkan untuk menguatkan opini, tidak segan-segan lagi hingga menggunakan jasa lembaga survei yang saya yakin lembaga tersebut dibayar untuk melakukan survei, survei tingkat keimanan pemilih? Konyol.
Rakyat dipertontonkan anomali politik, membuat miris. Banyak fakta dikaburkan dengan opini yang sengaja dibuat. Bagaimana mungkin disaat seseorang itu mencitrakan diri sebagai seorang muslim taat, tetapi disaat yang lain membiarkan terjadi persekusi terhadap ulama dan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan justru bertentangan dengan kaidah keislaman, sehingga wajar saja kemudian kita bertanya-tanya, dimanakah akhlak sebagai politisi beragama islam itu di letakkan ?.
Perjalanan sejarah membuka mata dan pikiran kita, bahwa kita patut berbangga pernah dipimpin seorang presiden seperti presiden Soeharto. Sejarah membuktikan bahwa beliau adalah satu-satunya pemimpin nasional sepanjang sejarah yang mau dan berani membubarkan partai anti Tuhan (Komunis) di Indonesia, beliau pada masa kepemimpinannya membangun ribuan sekolah umum maupun madrasah.
Beliau juga satu-satunya Kepala Negara kita yang berniat dan bertekad membangun Masjid di setiap kecamatan di wilayah Republik Indonesia ini, dan hal tersebut benar-benar terlaksana. Tidak ada anomali dalam tekad yang diucapkan, janji diniatkan dengan tindakan yang dilakukannya. Tentunya beliau, Soeharto, bukan model pemimpin yang hanya bersolek Islami tetapi ber-asik mesra dengan ideologi yang anti dengan ke-Tuhanan, mulut ucap Pancasila tetapi lupa sila pertama.
Penulis : H. Anhar, SE. / rid