Penulis dan Sumber: Eko Sulistyo
Nama pendangdut Via Vallen kini adalah fenomenal di media sosial. Lagu “Sayang” yang mulai diunggah Februari 2017 sampai awal Febuari 2018 telah ditonton sebanyak 129 juta kali.
Rekor ini juga dipecahkan oleh pendangdut koplo lainnya Nella Kharisma. Mesin pencari Google merilis daftar pencarian paling populer di Indonesia sepanjang tahun 2017 menempatkan Nella Kharisma di urutan pertama dengan jumlah pencari lebih dari 104 juta di youtube sejak dirilis April 2017.
Menurut sosiolog musik dari Universitas Pittsburgh Amerika Serikat, Prof. Andrew N. Weintraub, musik dangdut adalah asli budaya Indonesia bukan dari India atau Malaysia.
Menurut penulis buku “Dangdut, Musik, Identitas dan Budaya Indonesia” ini menyebut karakter dangdut adalah khas Indonesia karena tema lagu-lagunya dekat dengan kehidupan masyarakat Indonesia.
Tentu ada pengaruh dari India atau Timur Tengah atau darimana saja, tetapi dangdut dikembangkan oleh orang lokal sampai ke pelosok Indonesia (BBC Indonesia, 10 Mei 2013).
Di berbagai wilayah dangdut bisa diterima dan menjadi pemersatu bangsa, lepas dari berbagai latar belakang sosial-budaya sehingga lahirlah Dangdut Minang, Dangdut Banjar, Dangdut Batak, Dangdut Koplo, Dangdut Remix, Popdut sampai Rockdut.
Bahkan di lingkungan generasi milineal sudah dikenal “Salam Dangdut MTV” sejak 2004. Fenomena Via Vallen seolah mengkonfirmasi pernyataan
Prof. Weintraub dan ungkapan Project Pop, bahwa “dangdut is the music of my country.”
Dangdut dan Politik
Dangdut pada awalnya mempunyai dikotomi sosial sebagai representasi budaya “kampungan” versus “budaya gedongan.” Lirik dan musik dangdut secara sosial mirip dengan kelahiran musik blues di Amerika Serikat yang mendayu dan sarat kesengsaraan hidup orang kecil.
Sebutan “kampungan” adalah identitas sosial yang identik dengan kaum menengah dan kelas bawah, yang merupakan mayoritas rakyat Indonesia. Sementara “gedongan” adalah representasi sosial kelas menengah dan kelas atas yang mendapat keuntungan dari modernisasi pembangunan.
Stereotip “kampungan” versus “gedongan” juga menunjukan bagaimana pembelahan sosial akibat pembangunanisme tidak hanya menghasilkan apa yang disebut kemiskinan struktural, tetapi juga pembelahan budaya dalam masyarakat.
Artis dan lagu dangdut sebelum era media sosial, menjadi populer dari kampung ke kampung dalam hajatan perkawinan, sunatan atau pesta tujuh belasan. Lain dengan jenis musik lainya yang ditopang oleh industri musik, manejemen, televisi dan jaringan distributor mainstream dan menjadi konsumsi kelas menengah atas perkotaan.
Sementara organisasi teritorial militer yang menyebar di seluruh struktur administrasi negara ke pelosok negeri adalah pembawa pesan budaya “dangdut” paling masif.
Di Timor Leste, yang kini telah berpisah dengan NKRI, lagu dangdut populer karena biasa didengar di pos-pos militer sebagai penghibur bagi tentara yang sedang bertugas.
Dangdut juga menjadi alat mobilisasi parpol setiap lima tahun sekali dalam pemilu Orde Baru sampai sekarang. Seorang penyanyi dangdut dapat saja bernyanyi untuk semua partai, asal dibayar.
Pemilu adalah masa penglaris bagi musisi dangdut. Tanpa dangdut maka politik Orde Baru yang represif dan pemilu pura-pura terasa hambar. Dari sinilah muncul istilah bagi pemilu Orde Baru sebagai “pesta demokrasi.”
Politisasi dangdut juga pernah dianggap berpotensi jadi ancaman penguasa, ketika “Raja Dangdut” Rhoma Irama mendukung parpol tertentu di era Orde Baru. Pembatasan dan larangan berbagai konser Rhoma Irama dilakukan penguasa saat itu.
Namun kaitan dangdut dan momentum politik pemilu dan parpol tidak berarti dangdut mempunyai ikatan ideologis dengan politik. Dangdut adalah pembawa pesan yang dapat digunakan dan dimobilisasi oleh berbagai kelompok dan kepentingan. Dangdut adalah dangdut, sebuah identitas yang tetap otonom.
“Vyanisty” dan Identitas Nasional
Feomena Via Vallen yang ditonton ratusan juta orang di youtube tetap saja sebuah rekor fantastis. Penyanyi ini mengalahkan “Alamat Palsu” yang dilantunkan oleh Ayu Ting Ting yang meraih 4 juta kali ditonton sejak diunggah pada 2015. Bahkan mengalahkan penyanyi pop Raisa dengan lagu “Kali Kedua” yang ditonton 26 juta kali sejak diunggah 5 Juni 2016.
Hal ini menunjukan bahwa media sosial seperti youtube yang sejak Pilgub DKI Jakarta 2017 dipenuhi seruan kebencian dan perang politik antar pendukung, membuat konten menjadi jenuh.
Masyarakat “online” di Indonesia yang menggunakan smartphone dan pengguna media sosial seperti mencari “konten” sebagai “pelarian kultural” yang dapat dinikmati sambil santai melupakan semua perbedaan.
Secara tidak langsung, tanpa peran negara, tanpa kampanye dari gerakan masyarakat sipil dan media mainstream, fenomena “Vyanisty”—sebutan bagi para penggemar Via Vallen—menjadi “politik cyber” yang mampu menggusur konten penyebar kebencian.
Jumlah penonton yang fenomenal dan penggemarnya membuktikan bahwa selera pengguna media sosial dengan cepat bisa berubah.
Perkembangan budaya populer ala dangdut koplo dan politik di ruang cyber tampak seperti dua hal dalam ruang yang berbeda.
Namun jika dikombinasikan, bisa menjadi alat strategis untuk mengikat kebhinekaan, toleransi dan politik cerdas melawan politik kotor yang bisa membelah masyarakat.
Dalam konteks hajatan politik besar Pilkada serentak 2018 dan Pemilu Serentak 2019, fenomena Via Vallen dapat dipadukan dengan “cyber democracy”.
Ketika dunia cyber diisi kaum partisan dan fanatisme, maka budaya cyber ala Via Vallen dengan dangdutnya dapat menjadi pembawa pesan perdamaian dan toleransi antar sesama anak bangsa.
Lagu “Sedulur Kabeh” yang dinyanyikannya mengajak publik untuk jadi pemilih cerdas ala dangdut koplo.
Pada akhirnya musik dangdut dapat ditransformasikan dari sekedar “hiburan” menjadi pembawa pesan dan ujung tombak mengawal ke-Indonesiaan kita sebagai bangsa.
***
———————
*) Penulis adalah Deputi Komunikasi Politik dan Diseminasi Informasi Kantor Staf Presiden.