Penulis: Goenawan Muhamad

Sumber: Catatan Pinggir

Batman tak pernah satu. Maka ia tak berhenti. Apa yang disajikan Christopher Nolan sejak Batman Begins (2005) sampai dengan The Dark Knight Rises (2012) berbeda jauh dari asal-muasalnya, tokoh cerita bergambar karya Bob Kane dan Bill Finger dari tahun 1939. Bahkan tiap film dalam trilogi Nolan sebenarnya tak menampilkan sosok yang sama, meskipun Christian Bale memegang peran utama dalam ketiga-tiganya.

Tiap kali kita memang bisa mengidentifikasinya dari sebuah topeng kelelawar yang itu-itu juga. Tapi tiap kali ia dilahirkan kembali sebagai sebuah jawaban baru terhadap tantangan baru. Sebab selalu ada hubungan dengan hal-ihwal yang tak berulang, tak terduga—dengan ancaman penjahat besar The Joker atau Bane, dalam krisis Kota Gotham yang berbeda-beda.

Sebab itu Batman bisa bercerita tentang asal mula, tapi asal mula dalam posisinya yang bisa diabaikan: wujud yang pertama tak menentukan sah atau tidaknya wujud yang kedua dan terakhir. Wujud yang kedua dan terakhir bukan cuma sebuah fotokopi dari yang pertama. Tak ada yang-Sama yang jadi model. Yang ada adalah simulacrum—yang masing-masing justru menegaskan yang-Beda dan yang-Banyak dari dan ke dalam dirinya, dan tiap aktualisasi punya harkat yang singular, tak bisa dibandingkan. Mana yang “asli” tak serta-merta mesti dihargai lebih tinggi.

Sebab kreativitas berbeda dari orisinalitas. Kreativitas berangkat ke masa depan. Orisinalitas mengacu ke masa lalu. Masa yang telah silam itu tentu saja baru ada setelah ditemukan kembali. Tapi arkeologi, yang menggali dan menelaah petilasan tua, perlu dilihat sebagai bagian dari proses mengenali masa lalu yang tak mungkin dikenali. Pada titik ketika masa lalu mengelak, ketika kita tak merasa terkait dengan petilasan tua, ketika itulah kreativitas lahir.

Saya kira bukan kebetulan ketika dalam komik Night on Earth karya Warren Ellis dan John Cassaday (2003), Planetary, sebuah organisasi rahasia, menyebut diri “archeologists of the impossible”.

Para awaknya datang ke Kota Gotham, untuk mencari seorang anak yang bisa membuat kenyataan di sekitarnya berganti-ganti seperti ketika ia dengan remote control menukar saluran televisi. Kota Gotham pun berubah dari satu kemungkinan ke kemungkinan lain, dan Batman, penyelamat kota itu, bergerak dalam pelbagai penjelmaannya. Ada Batman sang penuntut balas yang digambarkan Bob Kane; ada Batman yang muncul dari serial televisi tahun 1966, yang dibintangi oleh Adam West sebagai Batman yang lunak; ada juga Batman yang suram menakutkan dalam cerita bergambar Frank Miller. Dan semua itu terjadi di gang tempat ayah Bruce Wayne dibunuh penjahat—yang membuat si anak jadi pelawan laku kriminal.

Satu topeng, satu nama—sebuah sintesis dari variasi yang banyak itu. Tapi sintesis itu berbeda dengan penyatuan. Ia tak menghasilkan identitas yang satu dan pasti. Dan lebih penting lagi, sintesis itu tak meletakkan semua varian dalam sebuah norma yang baku. Tak dapat ditentukan mana yang terbaik, tepatnya: mana yang terbaik untuk selama-lamanya.

Sebab itu Kota Gotham dalam Night on Earth bisa jadi sebuah alegori. Ia bisa mengajarkan kepada kita tentang aneka perubahan yang tak bisa dielakkan dan sering tak terduga. Ia bisa mengasyikkan tapi sekaligus membingungkan. Ia paduan antara sesuatu yang “utuh” dan sesuatu yang kacau.

Dengan alegori itu tak bisa kita katakan, mengikuti Leibniz, bahwa inilah “dunia terbaik dari semua dunia yang mungkin”, le meilleur des mondes possibles. Bukan saja optimisme itu berlebihan. Voltaire pernah mencemoohnya dalam novelnya yang kocak, Candide, sebab di dunia ini kita tetap saja akan menghadapi bermacam-macam kejahatan dan bencana, 1.001 inkarnasi The Joker dengan segala mala yang diakibatkannya. Kesalahan Leibniz—yang hendak menunjukkan sifat Tuhan yang Maha Pemurah dan Pengasih—justru telah memandang Tuhan sebagai kekuasaan yang tak murah hati: Tuhan yang hanya menganggap kehidupan kita sebagai yang terbaik, dan dengan begitu dunia yang bukan dunia kita tak patut ada dan diakui.

Kesalahan Leibniz juga karena ia terpaku kepada sebuah pengalaman yang seakan-akan tak akan berubah. Padahal, seperti Kota Gotham dalam Night on Earth, dunia mirip ribuan gambar yang berganti-ganti di layar, dan berganti-ganti pula cara kita memandangnya.

Penyair Wallace Stevens menulis sebuah sajak, Thirteen Ways of Looking at a Blackbird. Salah satu bait dari yang 13 itu mengatakan,

But I know, too,
That the blackbird is involved
In what I know

Memandang seekor burung-hitam bukan hanya bisa dilakukan dengan lebih dari satu cara. Juga ada keterpautan antara yang kita pandang dan “yang aku ketahui”. Dan “yang aku ketahui” tak pernah “aku ketahui semuanya”. Dengan kata lain, dunia—seperti halnya Kota Gotham—selamanya adalah dunia yang tak bisa seketika disimpulkan.

Tak berarti pengalaman adalah sebuah proses yang tak pernah tampak wujud dan ujungnya. Pengalaman bukanlah arus sungai yang tak punya tebing. Meskipun demikian, wujud, ujung, dan tebing itu juga tak terpisah dari “yang aku ketahui”. Dunia di luarku selamanya terlibat dengan tafsir yang aku bangun dari pengalamanku—tafsir yang tak akan bisa stabil sepanjang masa.

Walhasil, akhirnya selalu harus ada kesadaran akan batas tafsir. Akan selalu ada yang tak akan terungkap—dan bersama itu, akan selalu ada Gotham yang terancam kekacauan dan keambrukan. Itu sebabnya dalam The Dark Knight Rises, Inspektur Gordon tetap mau menjaga misteri Batman, biarpun dikabarkan Bruce Wayne sudah mati. Dengan demikian bahkan penjahat yang tecerdik sekalipun tak akan bisa mengklaim “aku tahu”.

Majalah Tempo, Edisi Senin, 06 Agustus 2012~

Penulis: Goenawan Mohamad

Sumber : Catatan Pinggir

Seorang penulis sejarah yang baik tahu bahwa ia seorang penggubah origami. Ia membangun sesuatu, sebuah struktur, dari bahan-bahan yang gampang melayang. Sebab bahan penyusunan sejarah sesungguhnya bagaikan kertas: ingatan.

Ingatan tak pernah solid dan stabil; ingatan dengan mudah melayang tertiup. Seperti kertas, ketika ia menampakkan diri di depan kita, sebenarnya dalam proses berubah. Kita yang menemukannya juga berubah: dengan kepala yang tak lagi pusing atau menatapnya dengan mata yang tak lagi lelah; kertas itu sendiri sedang jadi lecek atau sumbing, lembap atau menguning.

Origami, di situ, mengandung dan mengundang perubahan. Berbeda dengan kirigami, ia dilipat tanpa direkat ketat dengan lem atau dijahit mati. Ia bernilai karena ia sebuah transformasi dari bahan tipis dan rata jadi sebuah bentuk yang kita bayangkan sebagai, misalnya, burung undan. Dan pada saat yang sama, ia mudah diurai kembali. Begitu juga penulisan sejarah: ia bernilai karena ia mengandung pengakuan, masa lalu sebenarnya tak bisa diberi bentuk yang sudah dilipat mati.

Saya selalu teringat ini tiap 17 Agustus.

Hari itu telah jadi sebuah institusi. Kita memberinya nama dan merayakannya dalam sebuah lagu (“Tujuh belas Agustus tahun empat lima, itulah hari kemerdekaan kita…”). Ada yang menjadikannya indikator sebuah revolusi (dengan “R”) dan berbicara tentang “Revolusi Agustus”. Di sekitarnya disusun ritual: tiap pukul 09.00 teks Proklamasi dengan tulisan tangan Bung Karno yang bergegas itu dibacakan kembali. Momen 67 tahun yang lalu itu seakan-akan patung pualam yang tak boleh lekang dan lapuk.

Manusia memerlukan itu: patung, ritual, dan upacara. Tapi itu juga yang membuat kita memandang masa lalu sebagai sebuah bentuk yang disederhanakan dan diperindah—seperti origami. Di balik 17 Agustus sebagai sebuah ingatan yang dilembagakan, ada keadaan dan kerja yang tak terhitung ragamnya: para pemuda yang dengan semangat berapi-api dan jantung berdebar mendesak Bung Karno dan Bung Hatta untuk berani tak patuh kepada penguasa Jepang; Bung Karno dan Bung Hatta yang dengan sabar tapi cemas mengikuti desakan itu—dan kemudian menyusun teks yang di sana-sini dicoret itu; sejumlah orang yang tak disebut namanya yang mengawal kedua pemimpin itu kembali dari Rengasdengklok; orang-orang yang menyiapkan bendera merah putih, pengeras suara, rekaman, upacara sederhana, dan berdoa….

Kerja (dan tak jarang dengan kesalahan dan kebetulan) dalam ragam yang tak habis-habisnya itu bahkan belum bisa membuat suara Bung Karno jadi sebuah gaung yang tak mati-mati, ke seluruh Indonesia, ke hari-hari mendatang. Setelah beratus tahun menunggu, tiba-tiba datang satu saat ketika kolonialisme jebol dan orang Indonesia bisa berkata bahwa dirinya “merdeka”.

Sejarah, di balik origami yang rapi itu, tak semuanya rapi. Ia punya elemen yang disebut Bung Karno “menjebol”. Kata itu menunjukkan sebuah aksi; bukan “penjebolan”, bukan “jebolan”, bukan sebuah kesimpulan, atau hasil ataupun keadaan. “Menjebol” menyiratkan sebuah keyakinan yang ada dalam proses. Tapi ia justru bermula seakan-akan mematahkan waktu di tengah.

Ia, jika kita pakai pandangan Badiou, adalah sebuah “kejadian”: tiap ikatannya dengan dunia yang-utuh, dengan situasi yang satu, patah. Kejadian itu seakan-akan ditakik dari hidup kita yang sehari-hari dan “lepas ke bintang-bintang”.

Di sini, saya ingin berhati-hati dengan hiperbol. Kata “bintang-bintang” bisa terasa terlampau melambung, tak bersentuhan dengan bumi. Salah satu kelemahan Badiou ialah memberi kesan bahwa dalam politik, “kejadian”, l”événement, begitu luar biasa sehingga harus ada orang-orang militan yang lahir sebagai subyek dalam Kebenaran. Sementara itu kita tahu, 17 Agustus bukanlah sesuatu yang secara ontologis terpisah dari situasi waktu itu. Sama salahnya dengan menganggap Peristiwa 30 September sebagai bukti “kesaktian” Pancasila, kita akan keliru bila menganggap detik ketika Proklamasi itu dimaklumkan adalah sebuah momen yang muncul bagaikan mukjizat.

Kita memang bisa menyebutnya sebagai “Revolusi”. Tapi tiap ingatan tentang revolusi selalu terdiri atas bagian yang sudah melayang terbang, atau melapuk—seperti kertas.

Bersamaan dengan itu, kata “revolusi” membawa imaji melodramatik, pertentangan penuh gairah dan gundah, yang sering mengharukan tapi juga melenceng. Monumen yang banyak dibangun di Indonesia—prajurit bersenjata, pemuda membawa bambu runcing—membayangkan kekerasan sebagai bagian esensial dalam “Revolusi” itu, meskipun di bulan Agustus 1945 itu tak ada pertempuran apa pun. Yang sering dilupakan, bahkan sebuah revolusi yang eksplosif datang dari perubahan-perubahan yang tidak heboh: politik mikro. Tak semuanya menarik, ganjil, atau heroik.

Itu sebabnya, “merdeka” adalah proses. Dalam bahasa Indonesia, kata sifat kadang-kadang bisa juga berfungsi menjadi kata kerja: daun adalah hijau dan itu juga berarti daun menghijau. Maka “Indonesia merdeka” dapat berarti “Indonesia adalah merdeka”, tapi juga bisa berarti “Indonesia menjalankan kemerdekaan”. Seperti “menjebol”, kerja itu masih berlangsung.

Pernah ada lelucon pahit. Seseorang yang setelah 17 Agustus 1945 nasibnya tak jadi lebih baik, bahkan memburuk, bertanya: “Kapan merdeka selesai?” Jika kita lihat “merdeka” adalah sebuah laku, pertanyaan itu tak akan ada. Sebab laku itu—yang berlangsung dalam sejarah sebagai proses—tak punya titik yang tetap di depan untuk dituju. Titik itu, untuk jeda, harus tiap kali diputuskan kembali.

Itu sebabnya kita perlu membayangkan origami itu tak mati. Dalam bentuk seekor burung undan, kita bayangkan ia terbang tinggi.

~Majalah Tempo Edisi Kamis, 16 Agustus 2012~

Rasio elektrifikasi atau tingkat perbandingan jumlah penduduk yang menikmati listrik dengan jumlah total penduduk di Indonesia semakin meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan laporan yang diterima Presiden Joko Widodo, hingga April 2020, rasio tersebut telah mencapai angka 99,48 persen.

Peningkatan rasio tersebut cukup signifikan bila dibandingkan tahun 2014 lalu yang masih berada di kisaran angka 84 persen. Capaian rasio saat ini juga telah melampaui target RPJMN 2015-2019 sebesar 96 persen.

Namun, Kepala Negara meminta jajarannya untuk tidak cepat berpuas diri terlebih dahulu mengingat dalam indikator electricity access population Indonesia masih berada di peringkat 95.

"Masih tertinggal dari Malaysia di peringkat 87, Vietnam peringkat 84, serta Singapura, Thailand, Tiongkok, dan Korea Selatan yang berada di peringkat 2," kata Presiden saat memimpin rapat terbatas mengenai peningkatan rasio elektrifikasi di pedesaan melalui telekonferensi dari Istana Merdeka, Jakarta, pada Jumat, 3 April 2020.

Selain itu, dalam indikator electricity supply quality, Indonesia juga masih tertinggal dari negara-negara tetangga seperti Filipina, Malaysia, Thailand, Tiongkok, dan Singapura dengan berada pada peringkat 54. Sejumlah desa di Indonesia diketahui juga masih belum teraliri listrik.

"Juga masih terdapat 433 desa yang belum berlistrik. Meskipun jumlahnya sedikit kalau dibandingkan dengan jumlah desa di seluruh Tanah Air, yakni 75.000, tapi apa pun ini harus kita selesaikan," kata Presiden.

Sejumlah desa tersebut tersebar di 4 provinsi dengan rincian sebanyak 325 desa di Papua, 102 desa di Papua Barat, 5 desa di Nusa Tenggara Timur, dan 1 desa di Provinsi Maluku. Terkait hal itu, Kepala Negara meminta jajarannya untuk segera mengidentifikasi dan bergerak menyelesaikan persoalan.

"Saya minta diidentifikasi secara jelas desa mana yang berdekatan dengan desa yang tak berlistrik, desa mana yang jarak rumah antarpenduduknya berjauhan dan mana yang berdekatan, sehingga kita dapat menentukan strategi pendekatan teknologi yang tepat," kata Presiden.

Selanjutnya, setelah identifikasi terlaksana, Presiden meminta jajarannya untuk segera menyiapkan anggaran, regulasi, dan kebijakan investasi yang diperlukan untuk mendukung program elektrifikasi di desa-desa tersebut.

Tak sampai di situ, Presiden juga ingin memastikan bahwa listrik tidak hanya masuk desa-desa tersebut, tapi juga dapat dinikmati dan diakses oleh warga, utamanya yang berada di lapisan bawah, sehingga mereka dapat memenuhi keperluannya sekaligus memberikan nilai tambah bagi peningkatan produktivitas ekonomi di desa-desa tersebut.

"Dengan adanya listrik kita harapkan anak-anak bisa belajar di malam hari dengan penerangan lampu yang cukup sehingga kualitas pendidikan kita juga semakin meningkat," kata Presiden. 

Sumber Berita & Foto: (Humas Kemensetneg)

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2020 yang diminta Presiden Joko Widodo sejak beberapa hari lalu sudah diterbitkan. Peraturan tersebut menjadi dasar pelaksanaan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di daerah sebagai opsi yang diambil pemerintah dalam memutus rantai penyebaran Covid-19.

Saat memimpin rapat terbatas untuk mendengarkan dan membahas laporan Tim Gugus Tugas Covid-19 melalui telekonferensi dari Istana Merdeka, Jakarta, pada Senin, 6 April 2020, Presiden mengatakan bahwa dirinya ingin adanya kecepatan dalam pelaksanaan PSBB tersebut.

"Saya ingin menanyakan beberapa hal terutama dengan nanti pelaksanaannya seperti apa dalam rangka agar kita memiliki sebuah kecepatan untuk mencegah dan memutus rantai penyebaran dari Covid-19," kata Presiden kepada jajaran terkait.

Kepala Negara sekali lagi mengingatkan bahwa dalam situasi saat ini dibutuhkan kerja sama dan komunikasi yang baik antara pemerintah pusat dan daerah sehingga memiliki satu visi dan garis yang sama dalam mengupayakan penyelesaian Covid-19 yang telah menyebar setidaknya di 207 negara.

Dalam kesempatan tersebut, Presiden Joko Widodo kembali menyinggung soal prioritas pelaksanaan tes cepat melalui metode PCR (polymerase chain reaction) bagi pihak-pihak berisiko tinggi terpapar Covid-19 baik itu dokter dan keluarganya, maupun para ODP (orang dalam pemantauan) dan PDP (pasien dalam pengawasan). Terkait hal itu, Presiden berharap agar pemeriksaan yang dilakukan dapat berbuah hasil yang cepat.

"Kecepatan pemeriksaan di laboratorium agar didorong lagi, ditekan lagi, agar lebih cepat dan kita harapkan dengan kecepatan itu kita bisa mengetahui siapa yang telah positif dan siapa yang negatif," kata Presiden.

Demikian halnya dengan pengadaan dan distribusi alat pelindung diri (APD) yang harus menjadi perhatian jajaran terkait agar dapat dilaksanakan dengan cepat. APD yang telah terdistribusi ke daerah-daerah juga harus dipastikan telah didistribusikan kembali ke rumah-rumah sakit dan tenaga kesehatan yang membutuhkan.

"Kita sudah mendistribusikan misalnya ke sebuah provinsi di daerah tetapi dari daerah itu juga harus diawasi, dilihat betul apa sudah didistribusikan ke rumah sakit," kata Presiden.

Selain itu, Presiden juga meminta perkembangan dari daerah-daerah yang telah melakukan realokasi dan penajaman kembali APBD untuk percepatan penanganan Covid-19 di daerah-daerah. Sebelumnya, dalam sejumlah kesempatan, Kepala Negara telah menginstruksikan jajarannya baik di pusat maupun daerah untuk memangkas anggaran-anggaran nonprioritas dan mengalihkannya kepada kegiatan prioritas penanganan Covid-19. 

Sumber Berita & Foto : (Humas Kemensetneg).

fiq/RID

Bergerak serentak, menyembur dari mulut mengeluarkan dahak

Demam datang, menyeruduk masuk selimut penuh sesak

Tak sanggup menahan air mata ketika sakit datang menyerang

Tarikan nafas terhentak sesak menahan sakit dalam ruang paru tak lagi sehat

Terkapar mengeluarkan keringat setelah demam tak lagi datang menghampiri kematian

Bersyukur kepada yang maha kuasa, untuk kehidupan

Berdoa kepada yang menguasai semesta, darat, udara, air, serta zat yang tak terbayangkan

Menghaturkan sembah kepada yang maha tak tertandingi, bahwa semua atas kehendak-NYA

[fiq/RID]

BEKASI (5 April 2020) – Pada Sabtu (04/04) Direktorat Jenderal Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial RI menyalurkan 6.700 paket sembako untuk klaster anak dan penyandang disabilitas, kemudian di hari Minggu (05/04) sebanyak 5.650 paket sembako disalurkan untuk klaster lanjut usia, korban penyalahgunaan Napza serta tuna sosial dan korban perdagangan orang. Total 12.350 paket sembako telah terdistribusi kepada seluruh Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS) Se-Jabodetabek.


Ditjen Rehsos telah menyiapkan 12.350 paket sembako yang dibagikan kepada 5 klaster rehabilitasi sosial. Sebanyak 6.000 paket untuk klaster anak, 700 paket untuk klaster penyandang disabilitas, 5.200 paket untuk klaster lanjut usia, 150 paket untuk klaster korban penyalahgunaan Napza dan 300 paket untuk klaster tuna sosial dan korban perdagangan orang.


Pada Sabtu (04/04) bantuan sembako sejumlah 6.700 paket telah didistribusi dengan rincian 6.000 paket untuk 276 LKS Anak dan 700 Paket untuk 22 LKS penyandang disabilitas. Sejumlah 5.650 paket sembako hari Minggu (05/04) disalurkan dengan rincian 5.200 paket sembako didistribusikan kepada 114 LKS lanjut usia, 150 paket didistribusikan kepada 11 LKS korban penyalahgunaan Napza dan 300 paket didistribusikan kepada 11 LKS tuna sosial dan korban perdagangan orang. Bantuan sembako ini berupa paket lauk pauk, makanan anak dan makanan siap saji.


Direktur Jenderal Rehabilitasi Sosial, Harry Hikmat mengungkapkan keprihatinannya terhadap masyarakat dalam kondisi pandemi Covid-19 ini. “mereka kesulitan mengakses sembako dalam kondisi pandemi Covid-19 ini. Paling tidak Kemensos ikut berbagi meringankan beban yang mereka alami,” ungkap Dirjen Rehsos.
Sesuai dengan tagline Kemensos Hadir yaitu Humanis, Adaptif, Dedikatif, Inklusif dan Responsif, penyaluran bantuan sembako ini merupakan bentuk respon Kemensos terhadap dampak dari pandemi Covid-19. Kemensos juga memastikan bahwa kelompok-kelompok rentan mendapat perhatian khusus.


Harry Hikmat bersyukur semua bantuan sembako dapat terdistribusi dengan cepat. “Kami bersyukur, bantuan sosial telah terdistribusi ke panti sosial/LKS atas dukungan penuh Direktorat Perlindungan Sosial Korban Bencana Alam (Dit. PSKBA) dari Direktorat Jenderal Perlindungan dan Jaminan Sosial (Ditjen Linjamsos), tentu dengan persetujuan Bapak Menteri Sosial, Juliari P. Batubara,” ucap Dirjen Rehsos.


Salah satu penerima bantuan yaitu dari LKS Al Muanah Paskam Jakarta mengungkapkan rasa syukurnya. "Alhamdulillah Kementerian Sosial Hadir, bantuan ini sangat bermanfaat bagi orang yang tidak mampu dan hidup serba kekurangan," kata Uum. Uum menambahkan, dirinya akan segera menyalurkan kepada warga yang menjadi binaan lembaganya.


Penyaluran bantuan sembako kali ini berbeda dari biasanya. Mekanisme penyaluran bantuan pada kondisi pandemi Covid-19 mengedepankan prinsip physical distancing. Selain itu, tim penyaluran bantuan pun menggunakan atribut yang tidak biasa, yaitu menggunakan alat pelindung diri berupa masker dan sarung tangan. Hal ini dilakukan demi meminimalisir risiko penyebaran Covid-19. [shk/RID]

Sumber: OHH Ditjen Rehsos

© PT. Aliansi Rakyat Multimedia Indonesia 2021
magnifiercrossmenuchevron-down