Bismillahirrahmanirrahim.
Ini merupakan kisah cerita bersambung, kelanjutan ceritanya sebagai berikut;
*Kehancuran Abrahah*
Allåhlah yang melindungi rumah suci-Nya. Ketika pasukan Abrahah bergerak mendekat, gajah Abrahah berhenti. Sekeras apa pun Abrahah memukulinya, gajah itu tetap duduk tenang, bahkan akhirnya berusaha berjalan lagi ke arah Yaman.
“Maju! Maju! Apa yang terjadi padamu?” bentak Abrahah pada tunggangannya. “Dalam berbagai medan pertempuran, belum pernah kamu mengecewakan aku seperti ini! Kamu bahkan tampak ketakutan! Ada apa sebenarnya?”
“Paduka! Ada yang datang dari arah laut!” teriak seorang prajurit sambil menunjuk-nunjuk panik.
Saat itulah, dari arah laut, Allah mengirim kawanan burung yang kepakan sayapnya menutupi sinar matahari seperti iringan awan mendung yang bergerak cepat. Burung-burung itu menjatuhkan batu-batu menyala ke arah pasukan gajah. Dengan panik setiap orang berusaha menyelamatkan diri, tetapi sia-sia. Semua orang, termasuk Abrahah, mati.
Peristiwa ini Allah abadikan dalam *surat Al Fil* :
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِأَصْحَابِ الْفِيلِ
Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap tentara bergajah?Surah Al-Fil (105:1)
أَلَمْ يَجْعَلْ كَيْدَهُمْ فِي تَضْلِيلٍ
Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka (untuk menghancurkan Ka´bah) itu sia-sia?Surah Al-Fil (105:2)
وَأَرْسَلَ عَلَيْهِمْ طَيْرًا أَبَابِيلَ
dan Dia mengirimkan kapada mereka burung yang berbondong-bondong,Surah Al-Fil (105:3)
تَرْمِيهِمْ بِحِجَارَةٍ مِنْ سِجِّيلٍ
yang melempari mereka dengan batu (berasal) dari tanah yang terbakar,Surah Al-Fil (105:4)
فَجَعَلَهُمْ كَعَصْفٍ مَأْكُولٍ
lalu Dia menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan (ulat). Surah Al-Fil (105:5).
*Wabah Penyakit*
Sebagian ahli tafsir berpendapat bahwa yang dibawa burung itu adalah kuman-kuman wabah penyakit cacar. Dalam beberapa hari saja seluruh pasukan mati dengan tubuh rusak seperti daun dimakan ulat. Abrahah berhasil kembali ke Yaman, tetapi tidak lama setelah itu ia pun mati seperti pasukannya.
*Kembali ke Mekah*
Abdullah bin Abdul Muthalib tidak jadi disembelih karena telah ditebus ayahnya dengan 100 ekor unta.
Abdullah adalah pemuda yang berwajah tampan. Kegagahan parasnya banyak menarik perhatian gadis-gadis Mekah. Apalagi setelah mereka tahu bahwa nyawa Abdullah telah ditebus dengan 100 ekor unta, suatu jumlah yang luar biasa yang tidak pernah dialami seorang pun sebelumnya. Walaupun banyak gadis yang berusaha menggodanya, kesopanan Abdullah tetap terjaga.
*Gadis yang Meminang*
Setelah penebusan Abdullah, Abdul Muthalib menggandeng tangan putranya menuju rumah Wahb bin Abdul Manaf. Wahb mempunyai seorang putri bernama Aminah. Abdul Muthalib sudah sepakat dengan Wahb untuk menikahkan putra-putri mereka.
Namun, di tengah jalan, seorang gadis cantik menegur Abdullah, “Engkau akan pergi ke mana, wahai Abdullah?”
“Aku akan pergi bersama ayahku.”
Tanpa memedulikan Abdul Muthalib, gadis itu berkata, “Kulihat engkau memang dituntun ayahmu, tak ubahnya seperti seekor unta yang akan disembelih. Demi engkau, aku akan menerimamu jika engkau mau menikahi diriku sekarang juga.”
Abdullah terperangah. Ia menatap gadis itu dengan gugup.
“Siapakah gadis ini? Pikir Abdullah, “dilihat dari pakaiannya yang dipenuhi perhiasan mahal, ia pasti seorang gadis bangsawan. Matanya yang hitam memancarkan sinar yang teduh seperti yang biasa dimiliki gadis-gadis berperangai lemah lembut dan penuh kasih sayang. Apa yang harus kukatakan kepadanya?”.
Ketika Abdullah menoleh kepada ayahnya, dilihatnya Abdul Muthalib memberi isyarat agar Abdullah terus melangkah dan tidak menggubris sang gadis .
“Aku bersama ayahku.” Aku tak kuasa menolak kehendaknya dan berpisah dengannya.
Abdullah kembali berjalan bersama ayahnya. Hatinya dipenuhi rasa iba dan simpati kepada gadis yang ditinggalkannya. Hari itu juga, Abdul Muthalib datang ke rumah Wahb bin Abdul Manaf. Mereka sepakat menjodohkan Abdullah dengan Aminah.
Keesokan harinya, Abdullah bertemu lagi dengan gadis yang kemarin. Abdullah menyapanya, “Mengapa engkau tidak menyapaku seperti kemarin?”
Gadis itu menjawab dengan ketus,
“Sinar berseri-seri yang kemarin kulihat pada wajahmu sudah tidak ada lagi. Karena itu, sekarang aku sudah tidak membutuhkanmu!”
*Sinar Kenabian*
Sinar berseri-seri yang dilihat sang gadis pada wajah Abdullah menurut sebagian ahli sejarah adalah sinar kenabian yang akan diturunkan Abdullah kepada putranya. Ketika Abdullah sudah dijodohkan dengan Aminah, maka gadis itu sudah tidak bisa lagi berharap akan memiliki putra yang kelak menjadi nabi.
*Pernikahan Abdullah dengan Aminah*
Allah sudah menentukan bahwa jodoh yang paling tepat untuk Abdullah adalah Aminah binti Wahb. Aminah adalah gadis yang paling baik keturunan dan kedudukannya di kalangan suku Quraisy.
Musim semi tahun 570 Masehi pun tiba. Batang-batang gandum di Yaman tumbuh menjulang tinggi. Dedaunan kurma di kota Tha’if kembali bersemi. Sementara itu, padang-padang rumput dipenuhi harum bunga-bunga yang tumbuh di kebun-kebun.
Bagi penduduk Mekah, musim semi adalah tanda kebebasan dan dimulainya lagi perdagangan musim panas ke Syria. Abdullah pun berniat pergi musim ini.
“Kanda, sebenarnya hatiku sangat berat melepas kepergianmu. Entah mengapa hatiku diliputi kekhawatiran dan kegelisahan. Aku bahkan berharap dapat menemukan suatu alasan untuk menahan kepergianmu,” keluh Aminah kepada suaminya.
Abdullah tersenyum menentramkan, “Hatiku pun terasa tertinggal di sini, Dinda. Aku tahu begitu besar rasa sayangmu kepadaku sehingga engkau berharap dapat terus berada di sisiku.”
“Bukan cuma itu, damai rasanya berada di sampingmu, Kanda.”
Abdullah mengangguk, “Tetapi Dinda, kini di dalam perutmu ada bayi kita. Kau tahu aku adalah pemuda tak berada. Saat ini, kita hanya mempunyai lima ekor kambing perah. Selain itu, tak ada lagi kekayaan yang dapat menghidupi kita berdua selain sedikit kurma dan daging kering. Karena itu, inilah saatnya bagiku untuk pergi berniaga dan menambah penghasilan kita.”
Aminah terpaksa mengangguk menerima kenyataan itu. Ia memandang kepergian Abdullah dengan sendu, seolah itu adalah detik-detik terakhir ia dapat melihat wajah suaminya.
*Hamzah bin Abdul Muthalib*
Pada hari pernikahan Abdullah dengan Aminah, Abdul Muthalib pun menikahi sepupunya yang bernama Hala. Dari perkawinan ini, lahirlah Hamzah, paman Rasulullah yang seusia dengan beliau.
*Abdullah Meninggal*
Bersama kafilah dagang, Abdullah tiba di Gaza. Kemudian, dalam perjalanan pulang, ia singgah di Yatsrib. Di sana, ia tinggal bersama saudara-saudara ibunya. Namun, ketika kawan-kawannya dari Mekah hendak mengajaknya pulang, Abdullah jatuh sakit.
“Rasanya, aku takkan kuat menempuh perjalanan pulang,” kata Abdullah kepada kawan-kawannya. “Kalian berangkatlah dan sampaikan pesan kepada ayahku bahwa aku jatuh sakit.”
Kawan-kawannya mengangguk, “Akan kami sampaikan pesanmu. Baik-baiklah engkau di sini.”
Kafilah Mekah pun beranjak pulang. Ketika tiba di rumah, mereka menyampaikan pesan Abdullah kepada Abdul Muthalib.
“Harits!” panggil Abdul Muthalib kepada putra sulungnya. “Pergilah ke Yatsrib. Lihatlah keadaan adikmu. Jika sudah sembuh, jemputlah ia pulang.”
Harits pun segera berangkat. Ketika tiba di rumah paman-pamannya di Yatsrib, yang ditemuinya adalah wajah-wajah duka.
“Abdullah telah meninggal,” kata mereka kepadanya, “mari, kami antar engkau ke pusaranya.”
Harits pun menyampaikan berita sedih itu ke Mekah. Melelehlah air mata di pipi Abdul Muthalib. Namun, kesedihan yang paling berat dirasakan oleh Aminah. Apalagi di saat itu ia tengah menantikan kelahiran bayinya.
“Selamat jalan, Kanda,” isak Aminah, “hilanglah seluruh kebahagiaan hidupku bersamamu. Kini, tinggallah aku yang hidup untuk membesarkan bayi kita.”
Tidak lama lagi, bayi Aminah akan lahir. Bayi yang kelak ditakdirkan Allah menjadi orang besar yang mengubah jalannya sejarah dunia.
*Peninggalan Abdullah*
Saat meninggal, Abdullah meninggalkan lima ekor unta, sekelompok ternak kambing, dan seorang budak perempuan bernama Ummu Aiman yang kelak menjadi pengasuh Rasulullah. Nama aslinya adalah Barokah. Ia berasal dari Habasyah.
In syaa Allah bersambung …………………………………………………………………
Sumber Buku: Muhammad Teladanku
Penterjemah: Abdul Ghofur
Gambar: nu.or.id